Kabar mengenai Bastian benar-benar membuat diriku lumpuh. Lumpuh karena gatal-gatal yang dulu sempat muncul, kini kembali kurasakan di sekujur tubuhku. Entah karena apa, aku tak tahu. Selain itu, mataku semakin berkunang-kunang. Kupikir, setelah aku menelan beberapa pisang, keadaanku akan membaik. Ternyata aku salah. Setelah melewati malam, bahkan tubuhku semakin tak keruan. Aku juga kedinginan.
Dari dalam kabin, samar-samar aku juga mendengar percakapan suami istri itu. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak lagi peduli. Yang kuinginkan saat ini hanyalah kematian.
Aku ingin mati saja.
Dan keinginan itu berputar-putar di benakku entah hingga berapa lama.
“Shresti?” La Fatima melongok ke dalam kabin.
Aku benci gangguan macam ini, sementara diriku sedang memikirkan cara terbaik untuk mati. Bukankah lebih baik suami istri ini menghabiskan waktu bersama mereka setelah kejadian buruk menimpa salah satu dari mereka?
Mataku meliriknya. “Ada apa?”
La Fatima akhirnya masuk ke dalam kabin. Ia mendekatiku, lalu duduk di samping ranjang tempatku berbaring.
“Ada satu hal lagi yang belum sempat disampaikan suamiku.”
“Apa?” tanyaku sambil tetap berbaring di ranjang.
“Alasan lain yang membuat suamiku pulang terlambat karena ia juga sengaja mengulur waktu. Dari perkelahian-perkelahiannya dengan sesama penduduk, La Husni mengkhawatirkan satu hal: ia takut kalau-kalau gerombolan-gerombolan orang yang yang kelaparan ini diam-diam membuntutinya sampai ke kapal ini. Maka dari itu, setelah diserang, ia pura-pura berhenti di hutan sambil menikmati pisang agar jika ada seseorang yang membuntutinya, mereka akan mengira bahwa suamiku memang hanya seorang diri.”
Mataku langsung terbelalak. Aku terkejut bukan karena ngeri bilamana Benoa diserang gerombolan manusia kelaparan, melainkan karena gagasan untuk mati sepertinya bisa dijalankan.
“Itu artinya kita harus segera menyingkir dari wilayah ini!” Aku langsung menegakkan punggung. Akankah gerombolan itu benar-benar mengetahui persembunyian kami atau tidak, Benoa harus tetap pergi.
Seulas senyum terukir di wajah La Fatima. Ia lalu menggenggam tanganku. “Iya, Shresti, ke mana pun kau pergi, kami akan mengikutimu.” Namun setelahnya, senyumnya memudar.
“Kau demam, Shresti!” La Fatima memindahkan tangannya ke keningku. “Kau … perlu istirahat.”
“Tidak!” Aku lantas berdiri. “Aku tidak apa-apa.”
Dalam hal ini, aku harus membawa Benoa menyingkir jauh-jauh agar tidak diserang oleh gerombolan-gerombolan kelaparan. Aku perlu mengantar La Fatima‒dan juga bayi dalam perutnya ke wilayah yang memiliki ketersediaan pangan, sehingga mereka bisa tetap hidup. Sementara aku … aku pernah mendengar bahwa budak-budak sering mati akibat kelelahan. Dan aku perlu membuat diriku kelelahan.
Aku harus tetap beraktivitas.
Aku harus bergerak terus.
“Shresti, tidakkah kau melihat bahwa kau seharusnya beristirahat? Kondisimu ini … kenapa kau terlihat menyepelekan sakitmu?” La Fatima mengatakannya dengan cepat.
Aku menatap La Fatima lekat-lekat. “Bukankah aku bebas melakukan segala sesuatu sesuai kehendakku?” Aku segera melangkah ke luar kabin.
“Shresti!”
Suara La Fatima membuatku berhenti. Ia tak pernah mengeluarkan suara sekeras itu sebelumnya. Setengah menoleh, aku melihatnya dari balik bahu.
“Shresti,” La Fatima mendekatiku dan menatapku dengan tatapan aneh. “Tadi aku hanya bercerita tanpa memintamu untuk bangun dari ranjang lalu melakukan segala sesuatu dengan terburu-buru! Sebenarnya ada apa denganmu? Kenapa kau tiba-tiba berubah seperti ini?”
Tanpa kuduga, La Fatima malah menangis.
“Shresti, kumohon … tenanglah dulu,” katanya lagi sambil terisak.
“Jika kau menangis, lebih baik kau duduk saja di ranjangku dan tak usah memikirkanku.”
“Bagaimana mungkin aku bisa duduk diam sedangkan kau sakit dan suamiku sedang ke luar mencari bahan makanan sekalipun tubuhnya penuh luka lebam!” bentaknya kepadaku dengan penuh emosi.
Aku bergeming memikirkan kata-kata yang diucapkan La Fatima.
“Aku tidak apa-apa,” sahutku setelahnya, sekadar membuatnya tenang. Bagaimanapun, demamnya tidak membuatku menggigil. Hanya sedikit kedinginan sekalipun badanku memang terasa tidak enak. Meski demikian, lebih baik aku tidak menambah kekhawatirannya.
“Sungguh?” Aku masih melihat genangan air di bola mata La Fatima.
Aku mencoba menyandarkan punggung di kayu penyangga. Kebetulan, di dekatnya ada sebotol arak. Aku lantas menenggaknya sedikit. “Ya. Kurasa sebentar lagi aku sembuh.”
La Fatima memegang tanganku. “Tapi kau jelas-jelas masih demam!” sanggahnya sekali lagi. “Dan arak bukanlah obat!”
Walau yang ia katakan benar, tetapi tujuanku menenggak arak bukan untuk sembuh dalam arti sebenarnya.
“Kalau begitu tolong ambilkan saja serbuk Dheng San Chi untukku.”
Aku tidak mendengar ia mendebat permintaanku. Dengan mata setengah terpejam, aku bisa melihatnya berjalan ke rak tempatku menyimpan pot obat, sementara aku kembali ke ranjang dan duduk di sana karena La Husni rupanya masih pergi.
“Ini.” Ia menyerahkan pot kecil itu padaku.
Ketika aku membuka tutup pot, La Fatima kembali mengoceh. “Katamu obat itu ampuh menyembuhkan luka, bukan demam.”
“Setidaknya, hatiku juga sedang terluka,” jawabku sekenanya. Aku langsung menenggak semua serbuk di dalam pot, lalu mengguyurnya dengan arak banyak-banyak.
La Fatima lantas duduk di sebelahku sembari tertunduk seraya memainkan jari-jarinya. “Aku tahu, tidak mudah bagimu untuk menerima kenyataan tentang Bastian, tapi bukan berarti kau justru kehilangan asa atau bahkan ingin mati, kan?”
Aku hanya meliriknya sepintas, selebihnya aku menutup mata dan berusaha tidak memikirkan masalahku.
Aku justru tergoda memikirkan bilamana aku bisa kembali ke Pulau Pombo. Pulau yang kerap diceritakan oleh Christian ketika kami masih berada di Ambon. Dulu, jauh sebelum aku mengenal Dabir dan kawan-kawannya itu, aku pernah berlayar ke sana seorang diri, sekadar untuk membuktikan cerita yang dituturkan oleh sang misionaris itu.
Rupanya, apa yang kulihat dengan mata jauh lebih indah dari yang hanya kudengar melalui telinga.
Di sana, aku bisa berbaring sesuka hati, sekaligus mengamati langit sembari ditemani ratusan burung Pombo. Aku juga bisa bermain pasir tanpa takut tersakiti atau dikhianati, aku bisa berlama-lama di dalam hutan tanpa takut tersesat, dan … tentu saja aku bisa melupakan semua masalahku! Di sanalah, aku merasa begitu damai, sunyi, dan juga tenang.
Tidak ada tempat lain yang begitu kuimpikan selain Pulau Pombo.
“Apa?” La Fatima tiba-tiba menyahut. “Tadi kau bilang apa? Pulau Pombo?”
Apakah bibirku tanpa sengaja sudah berkhianat? Aku mengangkat sedikit kelopak mataku lalu memicingkan mataku ke La Fatima. “Tidak. Aku tidak mengatakan apa-apa!”
Aku melihat kening La Fatima berkerut. “Kalau kau mau memangis, menangislah, Shresti.”
Aku bergeming. Sekalipun aku harus menangis, aku tak ingin ada orang lain yang melihatnya. Sama seperti yang sudah-sudah, jikalau air mataku harus keluar, tidak pernah ada yang boleh melihatnya.
“Kau jangan menahan air matamu sendiri,” katanya lagi.
***
“La Fatima!” Samar-samar aku mendengar suara La Husni memanggil-manggil istrinya dari dalam kabin beberapa jam kemudian. Suara itu terdengar begitu jauh.
Aku dan La Fatima sama-sama terkesiap.
“La Fatima!”