Salah satu kenangan masa kecil yang masih kuingat sampai sekarang adalah saat di mana Christian menenangkan telingaku melalui sebuah cerita. Entah dari mana kisah-kisah itu berasal, tetapi aku tak pernah gagal untuk menyukainya.
Di antara sekian banyak cerita, yang paling menarik bagiku adalah kisah di mana dalam sebuah peperangan yang begitu dahsyat, matahari dan bulan sama-sama berhenti bergerak oleh karena perkataan salah seorang pejuang yang sesungguhnya tidak memiliki kekuatan apa-apa.
Dulu, aku selalu bertanya-tanya, bagaimana mungkin benda-benda di langit itu bisa mendengar teriakan manusia yang hanya seukuran abu? Bukankah mereka teramat jauh letaknya?
Kini aku menengadah. Di atas kepalaku, aku tak melihat benda-benda langit itu akibat kepulan abu Gunung Tambora. Namun, berkas sinarnya masih bisa kulihat dengan mata telanjang. Karena itu, aku tahu bahwa matahari pun masih setia menerangi laut yang sedang kulintasi ini. Aku pun yakin, bulan masih akan muncul menggantikan matahari.
Sekalipun tidak ada Dabir.
Sekalipun tidak mungkin lagi ada pertolongan dari Bastian.
Hai matahari, hai bulan! Tetaplah berada di tempatmu sebelum aku selesai membereskan perompak-perompak yang beringas ini!
Buatlah mereka kesakitan oleh karena panasmu!
Setelah mencabut anak panah yang tertancap di tiang layar, dengan tangan yang masih menggenggam anak panah itu, tanganku mulai terkepal. Mengumpulkan seluruh tekad untuk membuktikan bahwa kisah yang pernah kudengar, tidak sekadar dongeng pengantar tidur yang kerap diucapkan Christian.
“Jika aku perompak, lebih mudah bagiku memanah seluruh awak kapal incaran lalu membawa pergi kapalnya,” timpal La Husni dengan wajah putus asa.
“Itu tidak akan terjadi!” sahutku membantah khayalan La Husni.
“Tapi jumlah mereka banyak!” ungkap La Fatima dengan panik. “Sedangkan kita hanya bertiga, Shresti!”
Aku memeriksa anak panah di tanganku dengan saksama, kemudian menoleh ke suami-istri yang sedang ketakutan itu. “Kali ini turuti saja perintahku. Aku memiliki rencana untuk mereka!”
Tanpa menunggu jawaban mereka, aku menyerahkan anak panah itu ke tangan La Fatima. “Tolong bebatkan kain di dekat ujungnya dan buat anak panahnya menjadi berat. Apa pun caranya.”
Aku pergi ke kabin. Mencari tombakku. Tombak yang dulu pernah kupakai di Teluk Tomini. Tombak yang dulu pernah menemaniku dan Bastian saat kami bertarung melawan perompak bersama-sama.
Kini, Bastian tidak ada. Tidak ada gunanya lagi menyimpan barang-barang yang akan terus mengingatkanku akan dirinya. Dan aku ingin membuangnya … dengan caraku.
Mengambil tombak, aku lalu kembali ke La Fatima. “Yang ini juga perlu dibebat dengan kain, tetapi tidak perlu ditambah beban apa pun.”
“Apa yang kau rencanakan?” tanya La Husni sambil membantu istrinya.
Berjalan ke arah tong-tong perbekalan, aku mengambil minyak serta batu api dan menyerahkannya kepada La Husni. “Tolong nyalakan apinya.”
La Husni menerimanya dengan mata terbelalak. “Kau akan membakar tombak dan anak panahnya?”
“Ya.” Aku bergegas ke tiang layar. Mengatur sudut layarnya, sementara dua kapal musuh kian mengejar.
“Ya, Allah, kau bahkan memperlambat laju kapalnya!” La Husni memekik ketakutan. “Apa kau sudah gila, Shresti?”
Aku membalas La Husni hanya dengan dengusan. Selebihnya, aku tak ingin mendebat semua yang mereka ucapkan.
Sudut layarnya sudah pas. “Apa apinya sudah menyala?”
“S-sebentar lagi,” sahut La Husni dengan gagap. Ia melirik ke arah buritan, jarak kedua kapal sudah amat sangat dekat. “Shresti, ini terlalu berisiko!”
Aku meliriknya sepintas, lalu kembali memperkirakan jarak terbaik yang kubutuhkan. “Lakukan saja perintahku, aku perlu jarak yang lebih dekat agar lemparan tombak dan anak panahnya tepat sasaran!” sahutku kesal.
Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat tangan La Husni dan La Fatima gemetar semakin hebat.
Beralih ke kapal-kapal musuh di belakang, kini aku bisa mendengar sorak-sorai mereka karena berhasil mengejar kami.
Kapal perompak itu semakin menutup jarak.
“Shresti, bagaimana bila kau gagal?” ganti La Fatima yang memperingatkanku sambil menangis.
Sekali lagi aku hanya menatapnya tanpa memberi jawaban. Dalam hal ini, aku hanya perlu fokus dengan tujuanku. Aku tidak boleh gagal. Sekalipun dulu, saat melawan perompak bersama-sama dengan Bastian, arah lemparan tombakku pernah meleset.
“Apinya siap!” seru La Husni memberi tahu. Ia lalu menyerahkan tombak berapi itu kepadaku.
Aku menerimanya, lalu memastikan minyaknya cukup untuk membuat apinya tetap menyala di tengah tiupan angin.
“Yang ini pun sudah siap,” kata La Fatima sambil menjaga api yang ada di ujung anak panah agar tidak mati.
“Pegang dulu panahnya. Itu akan kulempar setelah tombak ini memorak-porandakan kapal mereka!” Ia pun mengangguk.
“Tolong gantikan posisiku di sini,” pintaku setelahnya pada La Husni. Pria itu mengangguk patuh, lalu berdiri di dekatku. “Setelah aku melempar keduanya, arahkan layarnya agar kita langsung bisa menjauh dari mereka.
Tangan La Husni bergetar, tetapi aku harus yakin bahwa ia bisa melakukannya. Dengan wajah ketakutan, ia mengambil posisi persis seperti yang kuminta; aku menggerakkan jariku, memberi instruksi agar La Fatima mengikutiku ke arah buritan.
Sembari menunggu hingga jarak kami semakin rapat dengan kapal-kapal perompak, aku melemaskan jari-jariku agar dapat melemparkan tombak tanpa meleset.
Sorak-sorai perompak terdengar semakin riuh. Mereka mengejekku ketika aku mengambil ancang-ancang. Bahkan ejekan mereka semakin nyaring tatkala menyadari bahwa aku adalah wanita.
Kedua kapal itu semakin menutup jarak. Yang satu mulai merapat ke sisi kiri Benoa, yang lain di sisi kanan.
“La Fatima, bersembunyilah di dekatku agar mereka tidak menjadikanmu sebagai target.”
Setelah melihat La Fatima meringkuk di balik tempayan air, aku mulai meliukkan tubuhku. Dengan satu dorongan, aku mengerahkan seluruh tenagaku, mengarahkan tombak ke arah layar utama kapal terdekat yang ada di sisi kiri.
Sluuuurp!
Angin membawa tombakku melayang di udara. Dalam hitungan detik, aku hanya sanggup membayangkan lubang putih‒yang jika muncul, tandanya aku bisa merapalkan harapanku agar masuk ke dalamnya. Ya, lubang putih itu muncul. Secara singkat, aku langsung berucap agar lemparan tombakku kali ini tidak meleset,
Dan ….
Ujung tombak merobek layar utama kapal pertama.
Api segera menjalar.
Melebar, dan semakin menjangkau seluruh bagian layar.
Dalam hitungan detik, kapal yang terbuat dari kayu itu mulai terbakar. Perompak-perompak di kapal itu dilanda kepanikan. Sebagian dari mereka mengumpat sambil mengacungkan parang pada kami. Sebagian lagi berusaha memadamkan api. Beruntungnya, angin lebih cepat membantu penyebaran api ke seluruh permukaan layar. Beberapa dari mereka memilih terjun ke air, sedangkan sisanya menunggu hingga kapal yang satunya mendekat.
Inilah waktu yang tepat!
Aku buru-buru meminta anak panah berapi dari tangan La Fatima.