Daratan yang tadi hanya sebesar kelingking, sekarang jelas-jelas terlihat begitu besar. Luas membentang memenuhi garis cakrawala. Ada beberapa kapal besar berlabuh di sana, dan Benoa menambah deretan kapal-kapal itu. Sisanya, hanyalah rakit-rakit kecil yang sepertinya dipakai oleh nelayan untuk menangkap ikan.
“Kita sampai di wilayah Lombok,” ujarku memberi tahu suami-istri itu.
Aku membiarkan mereka berdua membakar ikan-ikan, sementara aku berkeliling di sekitar dermaga. Mendengarkan keluhan para nelayan, sekaligus mencari barang-barang yang mungkin bisa ditukarkan dengan sisa-sisa porselen dan juga kain asal Cina yang ada di tanganku.
Yang membuatku terkejut, porselen serta sutra yang kupunya dihargai begitu rendah di wilayah ini. Aku hanya bisa menukarnya dengan sepiring ubi rebus yang kurus-kurus. Itu pun kulakukan dengan perjuangan keras karena orang-orang saling injak agar bisa mendapatkan makanan.
Seorang di antara kerumunan yang berebut makanan, menjelaskan kepadaku bahwa abu gunung berapi yang meletus itu menutupi hampir seluruh lahan pertanian di pulau-pulau sisi sebelah barat wilayah Sumbawa. Di Lombok, abu itu benar-benar merusak lahan pertanian. Tidak ada padi yang bisa dipanen oleh petani. Bahkan, banyak di antara para petani itu yang beralih profesi menjadi nelayan. Namun sayangnya, laut juga tidak memberi hasil yang maksimal bagi mereka.
Aku kembali ke Benoa. Menceritakan apa yang kudengar kepada suami-istri itu sambil mengunyah ikan bakar.
“Kurasa di sini bukan tempat yang cocok untuk menurunkan jangkar,” nilaiku.
La Husni dan La Fatima sama-sama mengangguk. Usai mengisi perut, kami akhirnya sepakat melanjutkan perjalanan ke daerah Buleleng di wilayah Bali.
Di sana, situasinya tidak jauh berbeda dengan Lombok. Kondisinya amat memprihatinkan. Aku beserta La Fatima dan La Husni melihat dengan mata kepala kami sendiri, ketika para ibu menghajar anaknya yang meronta karena kelaparan. Ada pula manusia-manusia dewasa yang berebut bonggol jagung. Ya, mereka sedang memperebutkan sisa makanan. Bahkan, kami pun tidak mendapat apa-apa di sana.
Tanpa banyak bicara, kami akhirnya kembali ke Benoa untuk melanjutkan perjalanan ke Baniowangi.
Setibanya di sana, sekali lagi kami harus menghela napas berat. Keadaan yang kami lihat dan dengar masih tidak jauh berbeda dengan Buleleng serta Lombok. Di pelabuhan, kami mendengar banyak cerita mengenai petani-petani yang gagal panen. Pun para saudagar dan juga syahbandar di tempat ini menjadi lebih rakus demi memperoleh keuntungan atau sekadar untuk melanjutkan hidup.
Namun bagaimanapun, aku tetap harus berusaha memperoleh makanan.
“Aku mau menukarkan porselen,” kataku sambil menyodorkan piring dan gelas-gelas kecil yang sangat menawan.
“Aku tidak membutuhkan porselen,” sahut pedagang itu.
“Bagaimana dengan kain?” ujarku memberi pertimbangan. “Di tengah cuaca yang seperti ini, kau pasti membutuhkan penutup tubuh dengan kualitas yang baik.”
Aku memenangkan proses tawar-menawar itu ketika si pedagang mengangguk. Ia kemudian menyerahkan ikan asap beserta jagung sehingga aku bisa kembali ke Benoa dan menyantap makanan itu bersama dengan La Husni dan La Fatima.
“Jika aku boleh berpendapat,” kata La Husni di sela-sela makan, “tempat ini sebenarnya kurang cocok untuk istriku melahirkan.”
Kurang dari tiga bulan lagi La Fatima membutuhkan bantuan dukun bayi untuk melahirkan. Sedangkan di sini … aku mengakui pandangan La Husni tepat. Belum lagi jika mempertimbangkan kepentinganku sendiri.
Sebagai Shresti, aku harus lebih berhati-hati jika berurusan dengan syahbandar rakus seperti Ali Muffakat. Lagi pula, wilayah ini penah kukunjungi beberapa kali saat diriku masih sebagai Elias. Jika saja masih ada yang mengingat Benoa, rasanya aku memerlukan usaha keras untuk menjelaskan semuanya kepada orang banyak.
“Bagaimana jika kita ke Rembang, Semarang, atau Cirebon?” usulku.
Mengingat aku belum pernah pergi ke daerah sana, kupikir di sana masih cukup aman untuk berkeliaran sebagai Shresti.
La Husni tampak berpikir. “Aku tidak memahami risiko berlayar terlalu jauh dengan membawa wanita bunting. Belum lagi kita membutuhkan waktu untuk mencari dukun bayi untuk persiapan melahirkan, lalu bertahan hidup sampai anakku lahir. Jadi, bagaimana kalau kita ke Gresik saja? tidak terlalu jauh menurutku? Dan sewaktu muda dulu, aku pernah ke sana. Sedikit banyak, aku mengetahui seluk-beluk kota itu.”
Gresik. Tempat itu terlalu jauh dari yang kuinginkan. Sejak awal aku mau menghindari tempat-tempat yang bisa mengingatkanku pada Bastian. Dan aku sama sekali tak ingin bertemu lagi dengan Tinro serta Gau. Sulit bagiku untuk mengampuni mereka.
Sialnya, apakah saat ini aku bisa memberi alternatif yang lebih baik bila menyanggah usulan La Husni?
***
“Apa yang membuatmu gelisah, Shresti?”
Pertanyaan La Fatima membuatku berhenti mondar-mandir.
Beberapa jam yang lalu kami baru saja tiba di Pelabuhan Gresik. Sejak saat itu kakiku tidak berhenti membuat suara di lantai geladak, lantaran perlu menenangkan diri dari kegelisahan.
La Fatima sedang duduk di buritan Benoa ketika bertanya kepadaku. Saat pandangan kami bertemu, ia mengangkat kedua alisnya menunggu jawabanku.
Aku menghirup udara dalam-dalam, kemudian mengembuskannya. “Tidak ada.”
“Kalau begitu, mengapa kau berjalan mondar-mandir?”
“Aku sedang berpikir.” Langkahku kemudian terhenti di salah satu sisi geladak yang menghadap ke arah pelabuhan. Setelahnya, tiba-tiba saja aku menyadari sesuatu. “Di mana suamimu?”
La Fatima tersenyum padaku. “Dia sedang ke dermaga.”
Aku hanya memberi anggukkan singkat. Selebihnya, aku sedang berusaha menikmati pemandangan di sana, dengan menyaksikan kapal para saudagar, termasuk perahu-perahu mereka dan orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar dermaga.
Jauh di dalam hati, aku sama sekali belum bisa menerima keputusan untuk berlabuh di sini. Sekalipun kenyataannya Bastian lebih dulu hanyut sebelum tiba di Gresik, tetapi pria itu pernah mengatakan dirinya hendak berlabuh di daerah ini. Bahkan ia mengatakannya secara langsung. Dihadapanku. Dengan sorot mata yang tidak akan pernah aku lupakan.
Dan,
Dan,
Berada di tempat yang tidak seharusnya seperti ini membuatku merasa begitu bodoh.
Bodoh karena aku masih belum bisa mengampuni Tinro dan Boro‒apalagi Dabir, tetapi aku membiarkan diriku tersakiti dengan berada di tempat ini.
“Aku tidak pernah mengenal La Husni hingga hari pernikahan kami,” ungkap La Fatima tiba-tiba memecah keheningan. Ia lalu berdiri di sampingku, sehingga kami menatap pemandangan yang sama. “Bahkan, kata-kata yang paling tepat untuk menggambarkannya hanyalah ‘kecanggungan’. Hingga suatu saat kami menyadari peran masing-masing, kami seolah dipersatukan oleh sesuatu yang begitu kuat, dan kami akhirnya menyadari bahwa itulah cinta.” La Fatima berhenti sejenak.
“Jika waktu bisa diputar kembali,” lanjutnya dengan tatapan mengenang, “aku ingin bisa mencintai La Husni lebih dulu sebelum kami menikah. Dia pun juga memiliki penyesalan yang sama denganku. Namun, kami bersyukur ketika akhirnya cinta itu masih bisa kami raih bersama-sama setelah pernikahan.”
Ya … La Fatima tidak tahu apa yang sedang kupikirkan atau pun yang kurasakan, tetapi lagi-lagi ucapannya itu tidak pernah gagal membuatku tergoda untuk berpikir bahwa: cinta itu bisa diupayakan. Benarkah begitu?
Embusan angin memainkan ujung-ujung rambutku yang mulai memanjang. Dalam hati aku mencibir diriku sendiri. Dalam kasusku, cinta macam apa yang harus kuupayakan?
“Jadi, kalian dijodohkan?”
La Fatima mengangguk sambil malu-malu.
“Lalu, kenapa kau tiba-tiba bercerita kepadaku tentang kehidupan pernikahanmu, La Fatima?”
Ia mendesah, lalu tersenyum kepadaku. “Seluruh pemandangan yang terbentang di depan kita ini, membuatku ingin mengatakan bahwa aku tidak menyesali pernikahanku, walau sebelumnya, aku sangsi bisa menjalani pernikahan, sementara aku tidak pernah mengenal suamiku sebelumnya. Kupikir-pikir, banyak hal menakjubkan yang tak terduga dalam pernikahan selama kita sama-sama menerima. Apa pun itu. Dan bisa melihat pemandangan dunia luar seperti ini setelah melalui masa-sama kelam‒termasuk bencana gunung meletus, adalah sebuah kesempatan hidup yang tidak boleh disia-siakan.”
Sudah lama aku tak mendengar ucapan seperti itu. Christian pun pernah mengatakan hal serupa sekalipun situasinya berbeda. Dulu, aku pernah mempertanyakan mengapa Christian mau menerimaku saat ibuku memintanya untuk menjagaku. Dan Christian hanya menjawab bahwa hidup merupakan kesempatan yang tidak boleh disia-siakan. Ia tidak menjelaskan lebih lanjut maksud perkataannya itu. Saat itu, usiaku tidak lebih dari sepuluh tahun, dan aku menerima jawaban itu dengan harapan bahwa setelah dewasa nanti, aku akan mengerti. Namun, hingga detik ini, aku belum mengerti maksudnya.
“Ya, kau pantas menerima yang baik, La Fatima.” gumamku. “Kau pasti tidak pernah menyangka semua ini terjadi padamu, kan?”