BERNGA

Charlotte Diana
Chapter #13

BAB 13

“Tinro?” Bibirku langsung terasa kaku, tetapi aku tidak bisa dengan mudah untuk bersembunyi. Dia, dan orang yang ada di sebelahnya yang rupanya adalah Gau sedang berdiri di depanku.

Untuk beberapa saat, kami hanya saling pandang. Duniaku seakan berupa botol kaca, dan aku terkungkung di dalamnya, dalam kesunyian. Keheningan. Kesepian. Sementara di luar sana, di luar botol itu, orang-orang yang lain berlalu-lalang tanpa menghiraukan kami.

“Kau …”

Hanya kata itu yang terucap oleh Tinro. Ia mengenaliku. Atau lebih tepatnya masih mengingatku, sekalipun rambut serta penampilanku sudah banyak berubah sejak terakhir kami bertemu.

Di detik itu pula aku merasa ada dua kutub magnet di dalam tubuhku. Satu kutub mempengaruhiku untuk segera berlari meninggalkan mereka, tetapi kutub yang lain membisikkan sebuah peringatan agar aku mengampuni mereka. Tidak perlu muluk-muluk, cukup hanya dengan sebuah kalimat sederhana yang bisa didengar oleh dua orang itu.

Aku terdiam. Diam karena sengaja mengulur waktu. Kalau-kalau mereka memilih pergi. Kalau-kalau ada orang lain menginterupsi situasi kami. Kalau-kalau …. Apa pun itu, sekiranya terjadi, menandakan bahwa situasinya bukan lagi dalam kendaliku. Dan kesimpulannya, aku tidak lagi bisa dipersalahkan jika tidak mengampuni mereka. Bukan salahku jika keinginan untuk mengampuni itu pupus di tengah jalan.

Tinro kemudian bergerak, mengacaukan pikiranku.

Aku menelan ludah. “Aku mengampuni kalian.”

Setelahnya, aku merasa begitu bodoh. Sangat tolol, karena gagal mengendalikan lidahku. Kata-kata itu … ucapan itu … sungguh akan membuat mereka besar kepala. Mereka akan meremehkanku di kemudian hari. Mereka akan ….

“Kau di sini untuk mengampuni kami.”

Aku tak yakin itu sebuah pertanyaan atau bukan.

Aku kembali fokus menatap keduanya dan … menganggap itu sebagai sebuah sapaan.

Setelahnya, tatapan kami langsung terputus karena mereka sekonyong-konyong memandang ke sekeliling, seolah-olah mencari sesuatu yang hilang.

“Ini adalah pertemuan yang tidak terduga.” Tinro yang lebih dulu menatapku setelah beberapa saat. “Kami tahu, kami tidak layak bertemu denganmu lagi, tapi jika waktu mempertemukan kita lagi seperti ini, kami ingin meminta maaf karena telah meninggalkanmu di Bima.”

Sebetulnya, aku tidak mengharapkan permintaan maaf mereka, karena aku sudah mengucapkan pengampunan yang tak mungkin kutarik lagi.

“Tidak sepantasnya kami meninggalkanmu begitu saja seorang diri di Bima. Setelah tiba di Gresik dan melihat keadaan di sini, kami baru menyadari bahwa tidak ada jalan keluar bagi kami untuk menghindari bencana gunung meletus. Apalagi setelah melihat kau bisa bertahan sejauh ini, dan bisa sampai di Gresik hidup-hidup, Kami malu saat mengingat ucapan serta perlakuan kami terhadapmu, juga terhadap dua orang Bima yang waktu itu memohonkan belas kasihan,” ucap Tinro.

Dalam hati aku tersenyum.

“Apalagi, kami tahu kau ternyata seorang wanita. Wanita muda yang … bisa dikatakan seumur dengan anakku. Tidak sepantasnya kami membiarkan wanita berjuang sendiri dengan ototnya. Orang tua macam apa aku bila tega membiarkan hal itu terjadi?” tambah Gau.

“Maaf bila kalian merasa tertipu olehku, sekalipun aku sama sekali tak bermaksud menipu awak kapal.”

“Ya!” Tinro buru-buru menyanggah. “Pada akhirnya kami menyadari bahwa kau tidak bermaksud demikian. Kami tahu masa lalumu yang keras meski kami tidak tahu bahwa kau adalah wanita. Itulah sebabnya, kami begitu kalut dalam kekecewaan karena sosok yang kami anggap kuat, yang kami anggap hebat, yang kami anggap sebagai bagian dari anggota keluarga kami sekaligus anak, rupanya tidak seperti yang kami bayangkan. Kami terlalu cepat untuk menyimpulkan dan mengambil keputusan untuk bertindak.”

Aku tidak pernah tahu sebelumnya bahwa mereka sudah menganggapku sebagai anak dan bagian dari keluarga mereka. Selama hidup sebagai Elias, aku sama sekali tidak merasakan kasih mereka itu. Betapa tidak pekanya aku ini?

“Dan perpisahan yang menyakitkan waktu itu, sungguh membuat kami sadar bahwa … tidak seharusnya kami kecewa terhadapmu,” timpal Gau.

“Jadi,” aku melihat Tinro berusaha menyembunyikan rasa malunya, “jika kau berkenan, izinkan kiranya kami kembali menjadi awak kapal Benoa, Anak muda.” Tinro melemparkan pertanyaan itu dengan wajah serius sambil mengulurkan tangan. “Jika kau berkenan pula, berikan kami kesempatan untuk tidak sekadar menjadi awak kapal, tetapi juga sebagai keluarga. Keluarga yang mencari uang bersama-sama.”

Keluarga. Perasaan yang sama pernah kualami saat La Fatima memanggilku dengan sebutan “saudariku”. Sekarang, orang yang berbeda—yang pernah menyakitiku sebelumnya—menawarkan ikatan keluarga. Sebuah ikatan yang belum pernah aku miliki selama ini, tetapi selalu aku impikan sejak lama. Hatiku yang kering dan beku seakan diisi kembali dengan kehangatan.

Sekali lagi aku menatap mereka secara bergantian. Ada keinginan di hatiku untuk menerima tawaran mereka, tetapi aku tidak tahu bagaimana harus menerimanya.

Detik ini, aku seperti diperlihatkan bahwa mengampuni itu tak cukup hanya sampai di mulut. Namun, bagaimana jika nanti mereka mengingkarinya? Bagaimana jika mereka kembali meninggalkanku?

Ucapan pengampunan memang sudah diucapkan, tetapi perihal menerima kembali …

Bagaimana jika aku yang ternyata gagal untuk menerima mereka sepenuhnya? Dalam artian, aku masih menyimpan perasaan jengkel saat melihat mereka. Sebab, menerima mereka berarti mengizinkan mereka untuk ikut berlayar lagi bersama Benoa. Mengizinkan mereka untuk berinteraksi denganku, dan mengizinkanku untuk menjadi bagian dari mereka serta merasakan perlakuan mereka terhadapku, entah itu baik atau buruk.

Sekadar mengayunkan tangan dan berjabat tangan rasanya begitu berat.

Namun, ketika aku memberanikan diri untuk menyambut tangan itu, aku seakan memiliki kekuatan untuk tidak sekadar berjabat tangan.

“Kembalilah menjadi bagian dari awak Benoa.”

Setelahnya, aku berjuang keras untuk tidak setetes pun mengeluarkan air mata. Tidak!

Menerima, adalah tindakan sukacita yang tak perlu ditangisi. Malah, aku harus tersenyum.

“Aku harus mengakui, kau benar-benar luar biasa, Shresti!” ucap Tinro. Setelahnya ia mengguncang tanganku disertai senyuman lebar. Suasana menjadi sedikit mencair.

“Maksudmu?”

Ia sedikit bergeser menjauh dari orang yang berlalu-lalang. “Kau bisa bertahan seorang diri di Bima saja sudah bagus, tapi ternyata kau membawa dua nyawa tambahan!”

Aku ikut bergeser, lalu melentingkan bahu. “Jadi, kau tidak sekadar bertemu dengan La Husni?”

Tinro menggeleng. “Kami sempat berbicang sebenarnya, walau sebentar.”

Aku mengangguk. “Tapi sebenarnya, ada tiga tambahan nyawa,” ralatku.

“Tiga?”

“Ya. La Fatima sedang mengandung saat kita menemukan mereka.”

Tinro dan Gau terkejut. “Ia tak bercerita soal itu kepada kami.”

“Jadi, kalian masih mengenali wajah La Husni?” tanyaku setelahnya.

“Sebenarnya, dia yang lebih dulu menyapa kami. Kami bahkan tidak mengingatnya saat pertama kali menyapa, sampai ia menyebut ‘Benoa’.”

Aku mengangguk, lalu Tinro sedikit mendekatkan wajahnya ke Gau dan aku. “Oh ya, kau juga perlu tahu, kupastikan kita tidak bisa berdagang candu serta emas di sini. Situasinya tidak mendukung.”

“Ya, aku tahu itu. Jika lahan pertanian mengalami gagal panen, dan orang-orang tidak berminat mengisap candu serta membeli emas, Kurasa jalan terbaik untuk memperoleh uang saat ini adalah dengan menjala hasil laut. Bisa ikan, bisa teripang.”

Lihat selengkapnya