Semua kekacauan dalam hidup Pradnya berawal dari rasa kesepian dan sifat impulsifnya yang berlebihan. Namun, jika diteliti lebih detil, nasib sial yang bertubi-tubi mengepungnya itu sebenarnya bersumber pada satu hari yang buruk di sepanjang hidupnya selama tiga puluh tiga tahun ini.
Hari itu, Kamis, 13 April (lihatlah, tanggalnya saja sudah merupakan pertanda buruk) ponselnya bergetar selagi dia tidur-tiduran ayam di depan laptop yang layarnya berkedip-kedip.
Seseorang mencoba menghubunginya, mungkin dengan perasaan panik, atau penuh ketakutan, atau kasihan. Namun, baru pada dering kesekian Pradnya mengangkatnya, tak lebih karena ia terlalu mengantuk untuk menerima telepon.
“Kenapa lama sekali baru angkat telepon? Kau dari mana?”
Pradnya mengenali suara Lily di seberang. Sejenak, ia jauhkan teleponnya dari telinga dan memastikan nama kontak yang tengah menganggu tidurnya memang benar temannya yang paling bawel itu. Pradnya mengernyit tak suka.
"Dari neraka."
"Jangan bercanda. Aku menelponmu untuk memastikan kamu baik-baik saja. Ya, mungkin kau sedikit, uhm, bersedih, tapi kau tidak berpikir akan bunuh diri atau semacamnya, kan?"
Kata-kata Lily membuat kepala Pradnya semakin berat.
"Memangnya kenapa aku harus bunuh diri?"
Di seberang sana, Lily terdiam sejenak.
"Serius?"
"Kau ini kenapa, sih?"
"Pradnya, dengar. Kau belum buka grup WhatsApp, ya?"
"Grup? Grup yang mana? Ada terlalu banyak grup nggak penting. Aku malas membukanya."
"Astaga. Jadi kau benar-benar tak tahu apa-apa tentang peristiwa hari ini?" Nada bicara Lily menunjukkan kalau dia tengah kesal, atau gemas.
"Peristiwa apa, Lily? Ledakan bom? Kau ini bicara apa? Dengar ya, aku sama sekali tidak peduli bahkan jika separuh dunia meledak, karena itu bukan urusanku. Yang ku..."
"Pradnya! Bukan bom!" Lily mulai berteriak tak sabar. "Ini lebih mengguncangkan dari bom. Setidaknya menurutku bagimu."
"Lalu apa? Kalau begitu katakan padaku. Jangan berbelit-belit."
Pradnya bisa mendengar helaan napas Lily di telinganya dengan jelas.
"Dengar, kau tahu...Pak Theo menikah hari ini."
Bom fakta benar-benar meledak tepat di telinga Pradnya, mengguncangnya tanpa ampun hingga membuatnya oleng seketika.
"Oh, begitu?"
"Pradnya? Kau baik-baik saja?" dari suaranya kelihatannya Lily benar-benar mengkhawatirkan keadaan temannya.
"Dengan siapa?"
Ada jeda beberapa saat sebelum akhirnya Lily menjawab,
"Dengan... Bu Erika."
Ledakan-ledakan bom itu kemudian hanya menyisakan kekosongan. Hampa. Bahkan tidak ada tangis yang tercipta di mata Pradnya atas tragedi itu.
"Oh, sialan," desis Pradnya usai bertelepon dengan Lily. "Betapa semua ini sungguh lucu. Dua belas tahun kuhabiskan waktu untuknya, lalu yang kudapat hanya ini? Keterlaluan..."