Fajar.
Nama yang terlalu agung bagi anak pemulung.
Seperti memberikan mahkota pada kepala yang belum pernah kenal sisir.
Seperti menyematkan harapan pada dada yang tak pernah punya masa depan.
Namaku itu, katanya, adalah doa.
Tapi doa pun bisa terdengar seperti candaan yang kejam, jika kenyataan tak pernah bersedia menunduk barang sejenak.
Bapakku, Abdul. Seorang lelaki tua yang tangan dan kakinya tinggal tulang,
tapi hatinya masih mencoba berdetak demi keluarganya.
Ibuku, Tutik. Perempuan renta yang memeluk sisa-sisa semangatnya,
sambil mencium dahi anaknya yang sudah kehilangan masa kanak-kanak.