Seharusnya memang, ketika kita dinyatakan lulus oleh sebuah Universitas, kita mendapatkan KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) sebagai bukti telah resmi menjadi seorang mahasiswa. Namun entah hal apa yang membuat KTM di universitasku sangat lambat, hingga baru semester tiga kami mendapatkannya.
“Nin, tanyain dong info tentang KTM” ucap Deden.
“Males ah, eh tapi aku baca berita kampus kalo KTM sudah jadi sebagian, jadi belum bisa diambil” jawabku.
“Ya sudah mending kita ke Rektorat aja” ajaknya.
Pagi itu, tanpa sengaja aku dan Deden bertemu di masjid Iqamah, sebuah masjid universitas yang kini masih dalam proses renovasi. Kami pun berjalan ke Rektorat. Ternyata memang KTM sebagian sudah bisa diambil oleh mahasiswa yang bersangkutan.
“Tuh Nin, yang lain mengantri, ayo buruan kamu mengantri juga, siapa tau KTM kita sudah selesai”.
“Ngga mau ah, kamu aja yang mengantri, aku tunggu di sini”.
“Aku aja yang tunggu kamu, lagian aku ngga terlalu perlu, ATM aku sudah banyak”.
“Sombong banget sih kamu, lagian ATM sama KTM itu beda, kalau ATM kan untuk transaksi, sedangkan fungsi KTM menjadi salah satu persyaratan buat beasiswa, dan bukti kalau kita mahasiswa” jawabku.
“Iya juga sih” jawabnya pasrah.
“Ya sudah biar adil kita mengantri bareng” ajakku.
Begitulah kami, selalu beradu argumen di manapun berada, hingga tak mempedulikan orang-orang di sekitar. Setelah hampir satu jam mengantri, kini giliran kami yang tepat berada di depan petugas bank, oiya, KTM ini sekaligus ATM, agar pembayaran UKT mudah diakses.
“Siapa namanya Mba?” tanya teller.