Aku memutuskan untuk mengikuti himpunan mahasiswa sains fisika, sebuah organisasi intra yang ada pada universitasku. Diawali dengan pelantikan pada Februari 2018 dan berakhir di Desember 2018. Aku hanya berkontribusi dan mengabdi selama satu periode. Banyak hal yang membuatku untuk berhenti, padahal hati masih ingin untuk mengabdikan diri dan memperbaiki. Apa daya kenyamanan yang membuat pikirku untuk menyudahinya. Namun tak mengapa, meski satu periode, banyak hal yang kudapatkan, pengalaman dan pelajaran yang tidak diajarkan dosen pada mahasiswa, aku mendapatkannya di sini.
Sejak awal pelantikan, aku diamanahi sebagai bendahara departemen profesionalisme jurusan. Dalam kepanitiaan, aku pernah menjadi Organizing Commite Visit To Lembaga dan Sekretaris Commite Physich Fair, pada acara tahunan fisika. Apresiasi ketua umum padaku, tak memandang bahwa aku masih semester dua, tak menyurutkannya untuk mengamanahiku. Namun aku merasa ada kecemburuan sosial, baik dari kakak tingkat maupun dari teman-teman angkatanku. Dari sini cerita akan aku mulai.
Program kerja yang pertama ialah Visit To Lembaga. Bayangkan, baru saja pelantikan, aku bocah ingusan, sudah harus bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang berhubungan dengan fisika. Aku ditemani Dikha, dia teman angkatanku, yang tak akan pernah kulupakan jasanya. Mencari tahu informasi tentang lembaga-lembaga yang ada di Bandung. Hingga motornya harus ganti ban, karena jarak yang lumayan memerlukan perjuangan. Membawa secarik surat sebagai bukti. Hingga akhirnya disetujui oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Menginjakkan kaki, dan akhirnya surat permohonan kerjasama diterima.
Bukan hanya mengurusi kunjungan lembaga untuk angkatanku, namun juga untuk kakak tingkatku. Malam itu, ditugu kujang. Aku menghadiri rapat angkatan kakak tingkatku. Suasana sempat menegang, mereka tampak berfikir bocah, tak ada titik temu, pembahasan sangat alot. Tak memperdulikan aku sebagai ketua pelaksana. Keras kepala, mereka ingin pendapatnya lah yang diterima. Hingga akhirnya memutuskan untuk berkunjung ke PT.Pertamina, tanpa kehadiranku tentunya. Dan aku memilih untuk tidak berkecimprung, biar saja pikirku, itu demi kemaslahatan mereka, lagian untuk apa aku ikut. Semoga kunjungan mereka sesuai dengan apa yang mereka harapkan.
---
Satu persatu program kerja terlaksana, dan kini dipuncak acara tahunan jurusan, namanya Physich Fair. Aku yang berdomisili di Bandung, bersama kang Rifaldi, dia kakak tingkatku yang aku kenal dengan baik di himpunan, harus mengantar surat ke Gubernur Jawa Barat di Gedung Sate, dan ke Walikota yang letaknya di Balai Kota untuk piala olimpiade fisika yang diadakan oleh himpunan Tingkat Jawa-Banten. Sebuah pencapaian juga bagiku, di akhir semester dua. Bisa berkunjung langsung ke Balai Kota, tempat Walikota berada, Ridwan Kamil saat itu yang menjabat. Aku dan kang Rifaldi diputar-putar oleh petugas keamanan, saat hendak mengirimkan surat. Yah, itulah birokrasi. Kami sempat mengabadikan foto didalam ruangan tersebut. Sempat bermain di Balai Kota, hingga teringat bahwa surat untuk Gubernur belum disampaikan. Begitu pula di Gedung Sate, kami diarahkan ke gudung A, ke gedung B, dan ternyata seharusnya surat tersampaikan di gedung C. Tak apa batinku, dengan begini aku lebih mengetahui isi gedung-gedung tersebut.
---
Semester dua telah usai, dan seluruh pengurus himpunan membawa surat undangan olimpiade sesuai regionalnya masing-masing. Lagi, karena aku dan kang Rifaldi di regional yang sama, maka kami mengantarkan surat-surat tersebut bersama. Awalnya perjalanan kami sangat canggung, tak ada percakapan, selain niat awal yaitu mengantarkan surat. Hingga pada saat perjalanan pulang, ia yang mengawali percakapan. Entah apa awalnya, namun berujung ke pembahasan mengenai pernikahan.
“Enak ya Nin, kalo jadi perempuan mah, kuliah belum selesai juga bisa langsung nikah, coba aja laki-laki, masa iya nikah saat kuliah, wisuda belum, kerja belum, eh harus nanggung beban kehidupan anak orang”.
“Engga juga kang, mamah Nina menyuruh sarjana dulu dan mulang tarima ke orang tua”.
“Tapi Nin, seenggaknya, kalo ada laki-laki yang nyeriusin pasti diterima”.
“Tergantung perempuannya juga kang, kenapa memang kang Rifaldi sudah siap nikah?”
“Iya Nin, udah cape ternyata kuliah, banyak tugas, banyak projek yang harus dikerjain, apalagi di fisika”.
“Emang kang Rifaldi sudah siap?”
“Sebenernya akang mah siap-siap aja, soalnya udah punya tabungan buat nikah”.
“Terus masalahnya apa?”
“Belum diizinin nikah sama orang tua, lagian belum tentu juga ada perempuan yang mau nikah sama mahasiswa”.
“Terus gimana?”
“Karena nikah belum mampu, yaudah puasa aja sesuai sabda Rasul. Nina gimana udah siap kalo ada yang ngajak nikah?”
Deg. Aku hanya diam membisu.
“Kang udah sampe tuh rumah Nina di depan” aku mengalihkan pembicaraan.
“Eh iya, makasih ya Nin udah dengerin cerita akang yang ga penting, ternyata Nina nyambung kalau ngobrol”.
Aku hanya tersenyum lantas masuk rumah.