Bersamalah dengannya, dan menjadi sepasang arti

Nina Karlina
Chapter #10

Dewan Eksekutif Mahasiswa

Setelah himpunan selesai satu periode, aku sempat berfikir untuk tidak mengikuti organisasi lagi, tapi ternyata, aku tak kuasa, saat ragaku sudah terbiasa melakukan banyak hal namun harus berubah menjadi sebaliknya.

Dandi, dia yang pernah mengajakku menjadi pementor MAPPING, menggodaku di laboratorium saat aku sedang menikmati anak tangga yang aku pijaki.

“Aku dengar, kamu lengser.” Dia menyamai langkahku.

“Hmm”.

“Masuk DEMA yuk, mumpung lagi oprek”.

“Belum kepikiran kang”.

“Mewakili jurusan, mewakili angkatan, apa kamu rela aspirasi kita diambil jurusan lain?”

“Aku duluan kang”.

---

Sakit memang, sebegitu mencinta aku pada himpunan, tapi cukup aku yang tahu perihal yang menyakitkan, toh untuk apa bertahan, jika saling menjatuhkan, aku tak pernah terkesima dengan tawaran jabatan, bagiku pengalaman yang akan menjadi saksi sejarah dan kenangan.

“Kamu yakin tidak akan bersinergi bersama kami?” Tanya Hilman, yang kini menjadi ketua umum himpunan.

“Tapi nampaknya, teman-teman lebih suka bersinergi tanpa aku”.

“Jika itu keputusan terbaikmu, tak apa Nin, terimakasih sudah meluangkan waktu untuk bertemu”.

“Dipikir lagi coba Nin”. Ucap Aldi yang menemani pertemuanku dengan Hilman.

“Hmm”.

“Kamu itu kunci himpunan, jika kamu pergi, mungkin kami terkunci”.

“Aku yakin, kalian bisa berintegrasi tanpa aku disini, aku duluan ya”.

---

 Sarah, ia yang selalu membersamaiku, diapun marah dan kecewa padaku.

“Kamu tega ninggalin kita di himpunan”.

“Aku ga bermaksud Sar, semangat ya, kalian pasti mampu”.

Sejak saat itu aku dan Sarah agak segan untuk sekedar menyapa. Ulwan yang sejak tahun kemarin menginginkan aku menjadi sekretaris himpunan, tapi aku memilih berada di departemen profesionalisme jurusan, kini ia limpahkan amanah kepada Hilman, untuk menjadikanku sekretaris himpunan, tapi aku memilih untuk meninggalkan dan tidak mengambil peran.

---

“Jadi gimana Nin?” Dandi meneleponku.

“Emang gak ada lagi ya peluang orang yang di ajak?”

“Gaada, temen angkatanmu kan Cuma 30 orang, 2/3 di himpunan, 1/3 nya ngambis di perkuliahan”

“Nanti aku kabari lagi.”

Gimana ini, haruskah aku ambil tawarannya? Bagaimanapun aku izin pada Hilman, akhirnya dengan semua penjelasan yang Dandi berikan, ia mengizinkan. Tidak dengan Sarah yang menjadikan ini sebuah kesalahpahaman..

“Aku tahu, kamu ninggalin himpunan demi jabatan di DEMA” ucap Sarah padaku.

Aku tak menjawabnya. Hingga aku meminta kepada Dandi dan Balqis, ketua umum DEMA agar tidak memberiku jabatan di kepengurusan.

Aku diberikan amanah di Pengembangan dan Penelitian Keilmuan. Pelantikan kami di Dewan Eksekutif Mahasiswa dihadiri oleh perwakilan jurusan, tidak terkecuali kehadiran Hilman, seperti ada mata yang tersayukan, ketika sebuah kenyataan, aku yang seharusnya menjadi tangan kanan, ternyata meninggalkan.

“Maafin aku Nin udah salah paham tentang jabatan.” Sarah menghampiriku.

Aku tersenyum dan memeluknya.

---

Mungkin tantangan akan semakin berkelok, curam dan tajam, bagaimana tidak, kami dipersatukan bukan atas nama jurusan, meredam keegoisan, untuk fakultas yang berintegritas. Kenyamanan yang diberikan, kehangatan dan rangkulan yang aku rasakan, meski sering beradu fikiran, kami tetap dalam komando, saintek satu, saintek merakyat. Jika periode lalu aku menolak menjadi pementor Mapping, periode ini aku menjadi konseptor Mapping landing.  

Anjar, saat itu ia yang menjadi ketua pelaksana, dipertemukan dengan aku sang konseptor acara. Aneh memang, saat ia mengajak rapat internal bidang acara di sebuah tempat makan samping kampus, kami seperti diistimewakan.

Suatu hari panitia Mapping rapat bersama, aku dengan ketulusan hati mengajak mereka untuk tetap semangat menyelesaikan amanah ini hingga landing. Bayangkan saja, satu bulan kami menggarap proker ini, untuk dilandingkan dalam tenggat waktu dua bulan berturut. Kata-kata motivasi, kajian islami yang aku dapati, aku sharingkan pada mereka, hingga berujung mereka memanggilku Umi.

Entah atas dasar apa, Anjar baik sekali, menjemput dan mengantarkan aku setiap rapat. Hingga ia meminta rapat selanjutnya di adakan dirumahku, aku tak menolak. Ini benar-benar rapat terhangat yang pernah aku rasakan, panitia disini bukan hanya pengurus, tapi mahasiswa aktif fakultas pun dengan sangat terbuka boleh berkontribusi dan menyampaikan gagasan terbaik yang mereka punya.

Hendra, diam-diam mengambil fotoku saat sedang berdiskusi bersama Anjar, dan ramailah Anjar dengan julukan Abi. Aku hanya tertawa menanggapi itu. Malam itu aku membuat klarifikasi pada Anjar.

“Jika esok lusa ada kenyamanan diantara kita, aku berharap ini tidak didasari oleh rasa yang lebih dari sekedar pertemanan”.

“Maksudmu?”

“Sejak aku lahir, aku tak pernah pacaran, ledekan pengurus jangan sampai menjadi perasaan, aku berharap kita tetap berteman”.

“Kamu yakin dengan keputusanmu?”

“Jika kamu paham, mungkin baiknya kita saling menjaga”.

“Meski pada akhirnya kita saling membohongi dan menyakiti?”

Aku tak membalas pesannya lagi. Berusaha sebijak mungkin agar tidak terjadi hal-hal diluar nalar. Pernah suatu hari, aku minta dijemput Enrico, dia anak Teknik Informatika.

“Co, rapat habis magrib aku bareng kamu ya.”

“Oke Nin”.

Dia memang paham keadaan aku, dan sebelumnya pernah aku ceritakan tentang hal ini. Saat rapat usai, Anjar bersedia untuk mengantarku pulang.

“Tadi aku pergi bareng Coco, pulangpun harusnya demikian, aku duluan”.

Aku menaiki motor Enrico, dan meninggalkan Anjar yang menatap kepergianku. Tak peduli dengan serbuan pertanyaan panitia tentang kenapa aku bersama Enrico.

---

“Kamu ada masalah apa Nin?” Tanya Rifa saat aku sedang duduk di depan perpustakaan, dia satu bidang denganku di Pengembangan Penelitian dan Keilmuan, dan memang di Dewan Eksekutif Mahasiswa, dialah yang paling kukenal dekat kepribadiannya, dia jurusan Agroteknologi dan satu kelas dengan Anjar.

“Aku gapernah punya masalah kok Fa”.

“Bohong” Bentaknya sambil berdiri.

“Aku kapan bermasalah denganmu? Oh apa karena kemarin aku pergi dan pulang diantar Coco?” aku mendudukan ia dalam posisi berdiri.

“Kamu kan tahu, kalau aku sama Coco sepakat untuk berteman”.

“Terus?”

“Kenapa kamu jadi sama Coco?”

“Dengan siapapun aku berteman Fa, kamu tahu itu kan?”

“Tadi di kelas Anjar nanyain hubungan kamu sama Coco”.

Lihat selengkapnya