Siang itu Deden mengajakku bertemu di taman fakultas. Aku menemuinya dengan perasaan yang entah bagaimana bila dijelaskan, rasanya hanya aku saja yang mampu memahaminya. Sayup-sayup senja mulai tiba, dengan jus buah naga sebagai saksi perbincangan di antara kita.
“Den, aku mau bicara sama kamu”.
Ia menatapku, yang lantas aku tak mampu menatapnya kembali.
“Apa?”
“Aku bingung”.
“Cerita aja Nin, kaya kesiapa aja”.
Tapi mulutku sulit sekali berkata, seakan kelu dan membisu.
“Jika ada laki-laki yang datang kerumahku, mendahuluimu bagaimana?”
Ia tak menjawab pertanyaanku, gerimis seakan mengabarkan bahwa bukan tanah yang basah, melainkan pipi kita berdua, yang saling menunduk dalam getirnya perasaan.
“Aku tak bisa mencegahnya Nin, bagaimanapun jodoh itu ada pada kuasa-Nya”.
Aku kecewa, ia bahkan seperti melepasku begitu saja, apa ia membohongiku tentang perasaannya? Seolah ia baik-baik saja, nyatanya tidak demikian. Bagaimanapun, aku harus jujur padanya.
“Minggu lalu, ada pria yang kerumah aku, ia mengajakku berlibur ke Lembang”
“Lantas kamu mau?” ia memotong pembicaraanku.
Aku hanya mengangguk lesu.
“Kenapa kamu mau Nin? Apa kamu sudah mengenalnya?”
“Dia teman sekolah dasarku, 9 tahun yang lalu”.
Membisu, tak ada lagi yang berbicara, hujan mulai turun dengan deras, beriringan dengan air mata. Kita berdua tampak terluka karena rasa yang tak pernah terucap secara langsung.
“Den” aku mencoba memulai kembali pembicaraan.
Ia menatapku lebih dalam.
“Bagaimanapun, jika ia memang jodohmu, ia lebih berhak memilikimu Nin, ia sudah menjagamu selama hampir 9 tahun, tanpa kamu tahu, mungkin doanya saat ini hampir dikabulkan”.
“Tapi aku sudah merasa nyaman denganmu Den”.
“Cinta sejati itu pilihan Nin, antara menghalalkan, atau mengikhlaskan”.
“Kamu jahat Den”.
Aku berlari bersama hujan, rasanya aku tak kuasa, apakah ini yang dinamakan cinta? Mengapa begitu perih bagiku? Sudah hampir dua tahun aku dengan Deden saling mengenal, berharap wisuda segera tiba, dan sarjana kita sandang, pun dengan pernikahan yang kita mimpikan, tapi kenapa ia seolah tak ingin memperjuangkanku.
“Nin tunggu”.
Deden mengejarku, namun aku tak ingin menolehnya, bagaimanapun aku cukup terluka karenanya, hingga mobil di depan mata pun tak terelakkan.
---
Sudah 3 hari aku tak sadarkan diri, seperti mimpi, terbaring di rumah sakit seperti ini. Saat membuka mata, orang tua yang setia menunggu kesadaranku.
“Alhamdulillah kamu sudah sadar Na” mamah tampak berkaca-kaca.
“Aku kenapa mah?”
“Kamu tertabrak mobil teh” jawab ayah.
Aku teringat kejadian saat itu, air mataku kembali mengalir.
“Deden” lirihku.
Aku terpejam dalam relung narasi.
Kali ini aku akan mengabaikanmu
Bertahan sama saja membodohi diri sendiri
Pergi dan mengabaikanmu
Sama saja membohongi isi hati