“Lagu rindu ini ku ciptakan, hanya untuk bidadariku tercinta.. “ –kerispatih-
Tiba-tiba nada deringku berbunyi.
“Assalamualaikum” terdengar suara serak-serak basah yang ku dengar dari signyal telepon.
“Waalaikumsalam, eh iya dengan siapa?” jawabku.
“Nek, apa kabar, masih ingat kan sama kakek?”
Aku terdiam seketika. Tiada lagi yang memanggilku dengan sebutan nenek, selain Zulfikar, dia sahabatku sejak Aliyah dulu, dia pergi meninggalkan aku yang masih menetap di Bandung, ia melanjutkan kuliah di salah satu universitas di Semarang. Kenapa ia mengabariku kembali, saat rasa itu berada dalam puncaknya, namun diluluhlantahkan sedalam-dalamnya.
“Nek”
“Eh iya kek”
Tanpa ragu, panggilan sayang itu kembali terucap. Panggilan ini tanpa sengaja ia yang membuatnya, dahulu, dia salah mengetik pesan untukku, yang seharusnya Nina, menjadi Nini. Lantas aku kesal, karena Nini menurut pengertian bahasa sunda adalah panggilan untuk nenek. Namun ia malah berdoa bahwa panggilan nenek itu adalah panggilan kesayangan darinya untukku.
“Tumben mengabariku?”
“Iya nek, tau gak? Aku KKN di Bandung loh!”
Aku terdiam, apa yang harus aku lakukan, disaat seperti ini, aku sudah nyaman bersama Deden, Zul datang kembali dengan membawa harapan. Rindu? Jelas. Hampir 3 tahun kita bersama saat Aliyah, dan kini, sudah 3 tahun kita tak bertemu, bahkan tidak saling mengabari karena terpisah jarak. Ya Allah apa yang harus aku lakukan?
“Alhamdulillah, didaerah mana kek?”
“Majalengka, tapi gapapa, aku akan menyempatkan menemuimu”.
Tak ada lagi jawaban dariku, aku mematikan telepon tanpa izin, tiba-tiba pikiranku berkecamuk, apa yang akan terjadi, padahal belum ada yang benar-benar berbicara serius pada ayah di antara Deden maupun Khrisnendy, bagaimana jika Zulfikar datang untuk menemui ayah dengan serius. Firasatku tak tentu arah, apa yang harus aku lakukan, pada siapa aku harus menceritakan, kenapa cobaan dan perasaan datang silih berganti padaku, datang lalu menghilang, sayang lalu teredam.
---
"Mah, masih ingat Zulfikar?” tanyaku sambil mengunyah rambutan.
“Yang mana?” mamah terheran.
“Ituloh temen Aliyah, yang sering kerumah, terus dia lanjut kuliah di Semarang”.
“Oh iya mamah ingat, kenapa?”
“Dia tadi telepon, terus bilang, kalau dia KKN di Majalengka, katanya dia mau kerumah”.
“Terus teteh mengiyakan?”
“Teteh langsung matikan teleponnya mah”.
“Mamah justru kangen sama Zul, laki-laki sholeh, hafidz Quran, wah siapa sih yang ngga mau sama dia, dia udah ada calon apa belum ya?”
“Mamah apaan sih”.
“Ngga apa-apa teh ajak aja dia ke rumah, suruh menemui mamah”.
“Lah kok jadi menemui mamah?”.
“Kalo engga suruh menemui teteh aja yang kangen banget di masa putih abu-abu”.
Tiba-tiba teteh iparku datang dengan membawa jus alpukat, lalu duduk menggodaku.
“Teteh masih ingat, waktu itu dia datang, terus menjenguk teteh yang baru melahirkan Fajar, sekarang Fajar sudah bisa jalan dan pintar kalo diajak mengobrol, ayo video call sama dia, siapa tau Zul mau lihat Fajar”.
“Teteh apaan sih”.
“Gausah sok ngga mau gitu Nin, kalo dia sudah ada yang punya gimana? Padahal teteh setuju loh kalo kamu sama Zul”.
Aku melemparinya bantal . kini ruang tengah terasa hangat kembali, entahlah apa yang sebenarnya terjadi dengan hatiku.
---
“Paket” teriak kurir didepan rumah.
“Tunggu” aku membuka pintu.
“Untuk Nina Karlina”.
“Saya sendiri, terimakasih ya”.
“Cie dapet paket mulu, ayo buka teh”.
Mamah datang dengan membawa keripik singkong, aku lantas mengambilnya, dan tak jadi membuka paket.
“Nanti aja mah aku buka paketnya”.
“Kasian teh, yang ngirim pasti nunggu kabar paketnya udah sampai atau belum”.
Aku mengangguk.
“Gak ada nama pengirimnya mah”.
Aku membukanya, ternyata isinya tas warna navy, juga ada gaun berwarna navy, jelas aku sangat senang dihadiahi apapun yang berwarna navy.
“Ada bunganya juga mah” ucapku.
Terselip surat dari bunga mawar biru, mamah lantas membacanya
“Assalamualaikum nenekku sayang, bagaimana?
Tanpa kau balas suratku, aku yakin kau pasti suka,
aku sudah di Majalengka,
jika diizinkan esok minggu aku akan kerumahmu,
tolong pakai pemberian dariku ya, salam rindu.
–kakek-“
Aku yang sedang mengunyah keripik singkong lantas tersedak.
“Uhuk, hari ini kan hari jumat ya mah?”
“Iya teh, Zul mau kerumah, mamah masak apa ya? Teh, teh Tika” mamah memanggil kaka iparku.
“Iya mah?” dia menghampiri.
“Zul mau kerumah” ucapku, lantas memberikan surat dari Zul padanya, aku langsung pergi meninggalkan rumah.
---
Bagaimana ini, apa yang harus aku lakukan, kenapa semua hadir tiba-tiba membawa perasaan yang sama, sama-sama membuatku gelisah galau dan merana.