Syahdu.
Adzan subuh bergema dalam heningnya fajar, lantunannya yang syahdu seakan memanggil umat yang sedang terlelap dan meringkuk dibalik selimut yang membungkusnya. Menguji siapa pun, bagi yang enggan membuka kelopak matanya dan beranjak dari tidurnya. Namun, sebaliknya seakan menjadi nikmat terrsendiri bagi yang senatiasa memenuhi kewajiban dengan sepenuh hati.
Nisa terbangun, setelah bulek memanggil namanya berkali-kali. Sembari berusaha untuk menstabilkan keadaannya, ia berjalan untuk membasuh mukanya dengan wudhu. Mencoba melawan rasa kantuknya yang masih menyergap.
Sholawat dan lantunan ayat suci Al-qur’an silih berganti terdengar dari surau yang tak jauh dari rumah tempat tinggalnya. Berduyun-duyun umat muslim pun beranjak menuju surau terdekat, namun bulik dan Nisa lebih memilih untuk menunaikan sholat subuh di rumah, yang dilanjutkan dengan tadarus.
“Masih ngantuk Nis?” Bulek memperhatikan Nisa yang tengah mengerjap-ngerjapkan matanya. “Bangun dulu, masa sembahyang sambil ngantuk,” tukas Bulek.
Nisa mengucek matanya sesaat. Kemudian, keduanya segera menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim. Ruangan 4 x 5 meter tersebut pun terlihat lenggang, menyisakan kekhusyuan dua insan yang tengah mengadu pada Rabb-nya.
Dirumah yang tampak sederhana inilah Nisa menetap. Bukan tempat tinggal yang mewah, namun setidaknya tempat ini menjadi tempat ternyaman untuk kembali ditengah hiruk pikuk kegiatan yang ia kerjakan. Pagi belajar di Madrasah Aliyah hingga siang menjelang sore, sedangkan selepas ashar hingga maghrib ia rutin untuk menyetorkan hafalan Al-Qur’annya di lembaga tahfidz yang terletak disamping surau. Yayasan Tahfidz Multazam namanya. Sebelumnya, ia ditawarkan untuk mengikuti kegiatan tahfidz dengan sistem full asrama. Namun, dirinya menolak. Mengatakan bahwa dirinya belum siap untuk mengikuti segala kegiatan full asrama yang berada di lembaga tersebut, sehingga Nisa dapat lebih fokus untuk menghafal Al-Qur’an.
Saat ini ia tinggal seatap dengan adik dari ibunya, biasa dipanggil ‘Bulek’. Nisa sudah dianggapnya seperti anak sendiri. Di umur pernikahan Bulek yang masih belia, Bulek dipaksa tegar dalam menerima berita yang sampai kepadanya. Suami Bulek mengalami kecelakaan saat perjalanan ke luar kota, bersama satu rekan kantor lainnya. Meski demikian, Bulek mencoba menerima takdir yang tengah menghampirinya, ia pun belum siap untuk menikah kembali. Selang seminggu kemudian, hal sama terjadi dialami oleh Ayah Nisa yang meninggal karena kecelakaan saat hendak kembali pulang ke rumah. Naasnya, diumur yang masih dibilang belia Nisa harus kehilangan ayahnya. Bunda pun memutuskan untuk mengadu nasib ke negeri orang. Dengan berat hati, Bunda terpaksa menitipkan Nisa ke adiknya.
Nisa belum ingat akan kejadian tersebut. Hingga hari ini, ia mencoba mengingat momentum disaat pertemuan terakhir dengan sang Bunda dan Ayahnya. Lewat beberapa foto yang tersisa ia mencoba merangkai seluruh alur cerita tersebut, mencoba menyambungkan benang-benang merah yang berkelabat dalam memorinya. Dan hasilnya nihil, ia masih terlalu kecil untuk dapat mengingat kejadian tersebut.
“Kamu lanjut tadarus dulu aja, Nis,” ujar bulik usai sholat. “Nanti bulik saja yang menyiapkan sarapannya.”
Nisa mengangguk.
Jarum jam menunjukkan pukul 04.50 pagi, langit masih terlihat gelap meski cahaya mega merah mulai terlihat di ufuk timur. Nisa mengambil posisi duduk yang menurutnya paling nyaman, ia pun memulai muraja’ah[1] sambil memulai untuk berkonsentrasi. Setiap hari, Nisa berusaha untuk tetap melakukan muroja’ah. Mungkin, hafalan yang dimiliki tidak seberapa. Namun, tekadnya amat kuat untuk menyeimbangi nama yang telah diberikan kedua orang tuanya membuat semangatnya terus menggelora.
Matahari mulai meninggi secara perlahan, sinar hangatnya pun kembali menyapa ramah seluruh penduuduk bumi. Setelah dirasa cukup, Nisa menyudahi muraja’ah-nya. Ia segera mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah. Dari dapur, bulek masih sibuk menggoreng beberapa tempe yang sudah dipotong dan dilumuri dengan sedikit air bercampur bawang putih yang ditumbuk, yang kemudian didiamkan sesaat agar bumbu menyerap kedalamnya. Asap mengepul, menebar aroma enak yang menggugah selera. Bulek pun dengan cekatan membalik tempe yang sudah setengah matang, sembari menyiapkan nasi hangat diatas piring.
“Masak apa bulek?” Nisa sudah tampak rapi dengan seragam sekolahnya.
“Lauknya tempe sama sambel dulu ya, Nis.”
“Nggak apa-apa bulek, tempe buatan bulek juga nggak kalah kok sama tempat makan di kota,” balas Nisa asal. “Apalagi kalau dimakan sama sambal. Joss gandoosss,” timpal Nisa sambil mengancungkan kedua jempolnya.