Bersua di Jannah-Nya

Rahmah Athaillah
Chapter #3

kiriman dari negeri sebrang

Sekolah tampak terlihat sepi, saat jarum jam menunjukkan pukul dua siang, menyisakan beberapa murid yang berniat untuk berkumpul membahas perihal jalannya acara peringatan tahun baru hijriyah yang seminggu lagi akan segera dilaksanakan. Istirahat tadi Nisa sudah mengabarkan kepada bulek, jika dirinya akan pulang agak terlambat karena rapat yang akan diikutinya, tanpa basa-basi Bulek menyetujuinya. Bilang, agar usai rapat Nisa bisa segera kembali ke rumah.

Beberapa kursi tertata rapi da salah satu ruang kelas di kantai dua, berjajar membentuk empat baris kebelakang dengan satu meja di letakkan di depan. Decitan kipas yang sedang menyala terdengar sedikit berisik memberikan Fatih, membuka rapat dengan gayanya yang lugas. Menjelaskan rancangan serta teknis pelaksanaan perihal jalannya acara tersebut. Ia juga tak segan untuk menyaring dan mempertimbangkan beberapa masukan yang diberikan oleh beberapa temannya. Baginya, meskipun Fatih ditunjuk oleh sekolah sebagai koordinator acara tersebut, ia tetap merasa bahwa ide miliknya mungkin masih belum dikatakan terbaik. Sehingga, dirinya membutuhkan masukan dari anggota lainnya.

“Ngundang ustadz kondang ajalah,” Husna menyampaikan usulannya.

“Anggaran dari mana Husna,” sanggah Annur.

“Ya, kalau rezeki juga nggak akan kemana kok. Insya Allah juga akan berkah, kalau kita mengundang beliau-beliau.”

“Itu bukan suatu masalah sulit, sepertinya donator orang tuanya akan sangat membantu,” peserta lain menyahut.

“Aduh, kayaknya bakal ribet deh. Mending kita nyari yang simple aja tapi tetap maximal,” usul peserta rapat yang lain.

Dari semua yang mengikuti rapat, 80% mengatakan tidak setuju. Mengatakan, jika hal tersebut membutuhkan biaya yang cukup tinggi, belum lagi untuk masalah transit yang masih kurang memadai, dan belum tentu anak-anak muda mau mendengarkan ceramah-ceramah yang akan disampaikan nanti. Sedangkan 20% nya lagi masih memiliki harapan lain. Bukan masalah ada biaya atau tidak, namun, bukankah Tuhan memiliki ribuan cara untuk memberi kejutan bagi hamba-hambanya yang berniat baik.

“Mungkin teorimu nggak salah Rowiyah, Allah memang mempunyai beribu cara untuk memberikan jalan kepada hamba-hambanya untuk sesuatu kebaikan. Tapi, acara ini tinggal seminggu lagi. Kita butuh kepastian untuk mengajukan proposal ke kepala lembaga, dan disana harus disertakan dana yang akan kita ajukan. Alangkah baiknya, kita mencari opsi yang lebih jelas dan masuk akal saja,” sanggah Annur.

Fatih berdehem, ia mengarahkan anggota panitianya yang hadir di ruangan tersebut untuk tetap bijak dalam menyusun acara, mengingat acara yang akan digelar dalam waktu yang cukup dekat. Dahi Nisa mengernyit, ia mencoba memberi usulan lain, agar acara yang digelar nanti dapat menarik dan sesuai dengan dana yang mereka punya.

“Aku rasa Nisa punya kemampuan untuk berceramah di depan umu, pasti ini akan menarik perhatian para peserta yang hadir nanti,” salah seorang temannya berceletuk iseng, disertai dengan wajah yang tak berdosa sedikit pun, ia hanya menyengir lebar dan berhenti berbicara saat Nisa menatapnya dengan tajam.

Sontak, celetukannya membuat anggota panitia yang lain tertawa keras, sambil menatap Nisa yang menunjukkan mimik wajahnya yang tampak kesal. Terlebih Husna yang tertawa dengan terpingkal-pingkal. Termasuk tawa Fatih yang meledak, disaat teman-temannya mulai berhenti untuk menertawakannya.

“Uhm, maaf Nis aku tidak bermaksud,” Fatih menyeringai. “Tapi, itu ide yang bagus. Rasa-rasanya kamu mempunyai basic yang baik untuk berbicara di depan orang banyak. Apalagi, kamu termasuk orang yang rajin dan popular di sekolah ini. Pasti, akan banyak yang mendengar segala perkataanmu,” Fatih mencoba menenangkan suasana.

Nisa menggeleng cepat. “Bagaimana mungkin? Punya pengalaman berbicara depan kelas saja aku tidak pernah,” sahut Nisa sedikit ketus.

“Okey,” Fatih mengambil alih suasana. Akhirnya, dirinya memutuskan untuk segera merancang acara sesuai dengan rancangan awal. Sesungguhnya, sejak awal Fatih sudah akan mengkonsep seluruh rentetan acara seperti peringatan di tahun-tahun sebelumnya. Namun, entah darimana. Nuraninya menggerakan dirinya untuk merancang konsep yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Alih-alih ingin meminta pendapat terhadap anggota yang lain, yang terjadi justru anggotanya berdebat dan sulit untuk menyatukan suara.

Nisa masih terdiam, mudah sekali Fatih menolak pendapat yang disampaikan Husna. Bukankah itu sebuah tantangan baru untuk mensukseskan acara peringatan tahun baru hijriyah di sekolahnya. Seperti enggan berfikir kembali, Fatih mengambil keputusan yang menurutnya benar. Sedangkan Nisa, masih berusaha berpikir perihal konsep yang mungkin akan membuat acaranya meriah.

Rapat masih berlanjut.

::::

Gerimis.

Rintik hujan turun di kala sore yang cerah. Nisa berjalan santai menyusuri jalan setapak di area rumahnya, sembari menggunakan payung untuk melindunginya dari hujan. Tak banyak orang yang ia temui sepanjang jalan. Sepertinya, sebagian memilih untuk menetap di dalam rumah ketimbang harus ke luar rumah dengan hawa dingin ditambah rintikan hujan yang tengah turun. Tampak, beberapa ibu-ibu mengiring anak-anaknya untuk masuk ke dalam rumah, melarang mereka yang masih nekat untuk bermain di halaman rumah. Bilang, sebentar lagi rintikan hujan ini akan berubah menjadi hujan yang akan membuat sekujur tubuh mereka menjadi basah kuyup.

Seperti biasanya, Nisa akan pergi ke lembaga tahfidz. Meski dirinya baru pulang dari rapat koordinasi acara peringatan tahun baru hijriyah, Nisa tetap berangkat, berniat memulai hafalan kembali.

Papan besar bertuliskan ‘Rumah Tahfidz Multazam’ sudah hampir terlihat. Tidak begitu jauh dari rumahnya, mungkin yayasan tersebut terletak sekitar 200 meter dari rumah yang dihuni Nisa. Bangunannya masih terlihat kokoh. Terdiri dari tiga lantai, dengan aula perkumpulannya yang terletak di lantai satu. Lantai satu untuk kantor, disamping kantor tersebut terdapat aula perkumpulan disertai dengan foto-foto kegiatan beserta bingkainya yang terpampang di dinding aula, bukan hanya untuk perkumpulan resmi, aula tersebut juga sering digunakan untuk menerima setoran hafalan, kajian mingguan dan berbagai agenda lainnya. Sedangkan, lantai dua dan lantai tiga merupakan asrama yang dihuni oleh beberapa murid yang memilih sistem asrama dan menetap disana. Saat ini murid yang menetap di asrama serta memilih untuk benar-benar memfokuskan diri dalam hafalan Al-qur’an berkisar 25 orang. 67 lainnya memilih sistem pulang pergi. Dengan konsekuensi, tiap hari wajib menambah ziyadah hafalannya kemudian menyetorkan kepada guru atau musyrif yang berada di yayasan tersebut setiap sorenya. Ziyadah sendiri merupakan istilah yang digunakan para penghafal qur’an yang berarti menambah hafalan qur’annya yang akan akan disetorkan kepada pembimng atau nuyrif.

Sedangkan Nisa, dia memang salah satu murid terdaftar dalam lembaga tersebut. Namun, ia tidak mengambil sistem asrama yang sempat di tawarkan untuknya.

Sesampainya di yayasan tersebut, Nisa menyapa ramah ustadzah yang ia temui. Sekaligus, ia juga meminta maaf atas keterlambatannya.

“Tidak biasanya kamu datang jam segini. Bukankah kamu selalu berusaha datang lebih awal. Apa ada urusan?” tanya ustadzah Alya.

“Maaf ustadzah, selepas pulang sekolah tadi, saya mengikuti rapat koordinasi untuk membahas peringatan tahun baru hijriyah nanti,” jawab Nisa.

Lihat selengkapnya