Malam yang hening, menyisakan suara desingan kipas di kamar milik Nisa. Ia duduk di samping ranjang tidurnya, menatap layar komputer sedari tadi. Pikirannya masih terfokus akan halaman web yang tengah ia cari. Jemarinya bergerak lincah, memainkan cursor menggunapkan mouse laptopnya dengan gesit. Matanya menatap awas akan setiap informasi yang terpampang di layar informasi. Sepuluh menit berlalu, dirinya tidak terusik sedikit pun, meski bau masakan bulek mulai tercium hingga dalam kamarnya. Seperti biasa, sedang mempersiapkan makan malam untuk dirinya dan Nisa. Kini, bulek tinggal mencicipi kembali kuah masakan, sembari meyakinkan bahwa bumbu-bumbu rempah yang sudah dimasukan sempurna menjadikan masakan tersebut layak untuk dicicipi dan dimakan.
Namun, nyatanya Nisa tetap saja berkutik serius depan layar laptopnya.
Beberapa hari yang lalu, dirinya terhasud oleh kabar yang dibawa Rowiyah. Bukan terhasud perihal teman yang tidak menyukai, atau rencana yang disusun Rowiyah untuk memisahkan dirinya dengan Husna. Ini berbeda. Siang kemarin, saat Rowiyah melintasi koridor sekolah, tak sengaja ia mendapatkan selembar kertas yang terpampang di mading sekolah. Ia tertarik dan memutuskan untuk melihatnya sesaat. Ada info menarik dalam selebaran tersebut, salah satu lembaga pendanaan beasiswa sedang membuka pendaftaran bagi siapa pun yang ingin menghendaki untuk melanjutkan kuliah S1 dengan program beasiswa. Tertera, bahwa beasiswa yang diberikan bukan hanya pembiayaan sekolah saja. Namun juga termasuk pembiayaan untuk tiket pulang pergi dan biaya hidup selama masa perkuliahan nanti.
Iseng saja Rowiyah menceritakannya kepada Nisa dan Husna. Nisa mendengarkan dengan seksama, sedangkan Husna, mungkin saja ia mendengarkan, tapi tidak sepenuhnya. Karena, ia mendengarkan sambil menyicil rangkuman tugas untuk hari esok.
“Itu terbuka untuk umum?” Nisa mulai antusias.
“Uhm, seingatku iya. Namun, dengan syarat-syarat tertentu,” jawab Rowiyah.
“Kamu tertarik Nis?” Husna tetap melanjutkan rangkumannya tanpa menoleh kearah Nisa.
Nisa menghela nafas, mengangguk. “Sepertinya sangat seru, jika kita memiliki pengalaman yang lebih banyak diluar sana. Bagaimana?”
“Aku tidak tertarik Nis, yang akan mengikuti seleksi beasiswa itu bukan hanya kita. Tapi seluruh Indonesia. Aku tidak yakin bisa lolos,” timpal Husna.
Rowiyah terdiam.
“Hei, tidak ada salahnya bukan, kita mencoba terlebih dahulu?” Nisa meminta pendapat, berharap Husna dan Rowiyah juga tertarik untuk mengikuti seleksi program beasiswa tersebut.
“Kamu benar Nis,” akhirnya Rowiyah angkat suara. “Namun, mungkin aku akan memberi pertimbangan terlebih dahulu dengan kedua orang tuaku. Aku tidak yakin mereka akan mengizinkannya. Tapi, tidak apa, aku akan mencobanya terlebih dahulu. Siapa tahu, keberuntungan akan berpihak kepada kita.”
Nisa terlihat senang mendengar respon Rowiyah yang berniat untuk mencoba.
“Eh, Nis. Jika kamu lolos untuk ikut program tersebut. Aku rasa kamu bisa bertemu dengan ibu-mu. Bukankah program beasiswa-nya ditunjukkan bagi yang berminat mengikuti kuliah di negeri Timur Tengah?”
“Nah, kamu bisa memilih program beasiswa di Qatar.”
Nisa termangu. Ah, terkadang perkataan Husna yang sebenarnya hanya perkataan spontan ada benarnya juga. Itu benar, Nisa mulai membayangkan, jika atas izin Allah di lolos maka ia dapat menuntut ilmu sembari bertemu Bunda, yang sudah berpisah hampir belasan tahun.
Dua hari kemudian, Nisa baru bisa memfokuskan dirinya untuk mencari informasi lanjutan perihal beasiswa tersebut. Dengan senang hati, Rowiyah meminjamkan laptop pribadinya lengkap dengan modemnya. Awalnya, Nisa sungguh berat hati menerimanya. Bilang jika laptop adalah barang mahal, tak pantas jika ia meminjamnya. Namun, justru Rowiyah mengatakan jika yang ia pinjamkan adalah laptop lamanya dulu namun masih layak untuk digunakan, kini ia sudah memiliki gantinya yang lebih canggih. Ia katakan juga bahwa dirinya sudah tidak menggunakan lagi.