Ujian akhir tengah diambang pintu. Beberapa pekan lagi, Nisa dan teman-temannya akan menghadapi ujian akhir tingkat atas. Program-program sekolah tampak ditingkatkan, pembelajaran pun dilaksanakan melebihi biasanya. Bimbel maupun try out diadakan sesering mungkin demi anak didiknya benar-benar memahami pelajaran secara utuh. Beberapa buku pun direkomendasikan untuk membelinya, latihan katanya sebelum menghadapi ujian akhir. Tidak lupa, catatan-catatan yang berceceran pun, mau tidak mau dikumpulkan, dirangkum untuk bahan belajar.
Disela-sela kesibukannya dalam menghadapi ujian akhir, Nisa terlihat tetap mencari celah terbaiknya untuk menyusun dan mengumpulkan beberapa berkas yang ditunjukkan untuk mendaftar beasiswa tahfidz. Dengan perlahan, ia pelajari cara pembuatan esai yang baik, ia coba susun meski sesekali harus menghapus kembali beberapa tulisan yang sudah ia susun.
“Nis.. nggak mau mampir ke kantin dulu?” tanya Husna usai penambahan kelas pada materi matematika.
Nisa menggeleng. “Maaf Husna, aku harus pulang duluan,” Nisa menolak lembut ajakan Husna.
“Oke. Setelah ini mau langsung berangkat ke Yayasan Multazam?”
“Insya Allah. Duluan ya..”
Nisa beranjak pergi menuju gerbang, sosoknya pun menghilang di tengah kerumunan para murid yang tengah memenuhi halaman luar sekolah. Sedangkan Husna masih ditempat yang sama, menatapnya dari jarak jauh. Lambat laun, Husna dan Rowiyah pun menyadari sikap Nisa yang tengah berubah. Di saat menjelang waktu bersama-samanya pada tingkat akhir sekolah, Nisa justru membatasi diri dengan kesibukannya. Alasannya, ia sedang mempunyai urusan lain, ataupun sedang semangat-semangatnya menyetorkan hafalan di Yayasan Multazam. Husna dan Rowiyah dibuatnya bingung, bukan tanpa sebab. Namun, di tengah jadwal sekolah yang kian padat, Nisa pun memiliki kesibukan yang sama padatnya, meski keduanya tidak tahu pasti apa yang sedang Nisa kerjakan.
:::::
Sesampainya di rumah waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Adzan Ashar masih belum berkumandang, Nisa merebahkan dirinya diatas kasur, sebelum dirinya harus beranjak menuju Yayasan Tahfidz Multazam. Lenggang. Nisa menatap langit-langit kamar dengan penuh harap. Masih banyak persyaaratan yang belum ia lengkapi, sedangkan waktu ujian akhir terasa semakin dekat. Ia pejamkan matanya sesaat, mencoba merilekskan diri sembari mengatur nafasnya dengan tenang. Pikirannya tengah kembali beradu, membayangkan pertemuan dengan seseorang yang ia rindukan pada suatu pelataran tempat.
“Tenang Nis, semua akan baik-baik saja,” ia berbisik pada dirinya sendiri dengan pelan. Ia tarik kembali nafasnya secara perlahan kemudian ia hembuskan secara perlahan juga.
Adzan ashar berkumandang, seolah meminta kepada masing-masing hambanya agar sejenak meninggalkan seluruh pekerjaannya, seolah memberikan peringatan agar setiap insan bangun untuk menghadap kepada Rabbnya. Namun, Nisa justru terlelap. Entahlah, ia tak berniat untuk tidur kala itu. Mungkin, karena aktivitasnya yang melelahkan membuat dirinya tertidur terlelap hingga adzan yang berkumandang pun tak sampai didengarnya.
Kali ini, Nisa terlihat lelah betulan. Suara adzan yang tengah berkumandang, dan disusul dengan iqomah tidak membuatnya terjaga dari tidur sorenya itu. Padahal, sore selepas ashar nanti. Nisa harus berangkat ke Yayasan Tahfidz Multazam untuk menambah setoran hafalannya.
Bulek tengah sibuk di ruang tengah. Sejak siang tadi, bulek masih sibuk membuat pesanan kue kering konsumennya. Sesekali menyeruput gelasnya yang berisi air hangat, sembari menyeka pelipisnya yang berkeringat. Dirinya tidak tahu jika Nisa tengah terlelap di kamarnya, pikirnya keponakannya itu sudah bersiap-siap untuk berangkat ke yayasan.
Pukul empat sore.
Nisa belum keluar dari kamarnya. Pintu masih rapat tertutup. Biasanya, jam segini Nisa sudah pamit untuk berangkat. Namun, suaranya pun masih belum terdengar meskipun dari dalam kamar. Tidak ada tanda-tanda. Bulek memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Aneh, jam segini kok belum berangkat.
Tok! Tok! Bulek mengetuk pintunya, lalu membuka.
“Ya rabb.. Nisa, jam berapa sekarang? Sudah sholat Ashar belum? Mau berangkat jam berapa?” cerocos bulek saat melihat Nisa yang masih terlelap diatas kasur.
Nisa masih belum terjaga, dirinya tidak merespon sama sekali, matanya masih terpejam, bulek kembali menggoyang-goyangkan badannya. Duh, tampaknya Nisa benar-benar lelah kali ini.
Seruan suara bulek tidak didengarnya sama sekali.
“Nis, ayo Nis bangun dulu!”
Badannya mulai menunjukkan reaksi, matanya mengerjap-ngerjap sesaat. Mencoba bangun, meski nyatanya kantuk pun masih menyerang dirinya. Ia pandangi orang yang membangunkannya, ia lirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul empat sore lebih. Sekilas ia melihat ke arah jendela, sinar matahari sedikit menerobos ke kamarnya, suasana terlihat hangat kala itu.
“Kok udah jam segini Bulek?” sontak Nisa sangat terkejut usai melihat waktu yang sudah memasuki sore.
“Sudah sholat Ashar?”