Dua minggu berlaku begitu cepat. Usai sudah segala rentetan ujian akhirnya yang dilaksankan pekan ini. Nisa dan angkatannya telah melewati masa-masa paling mencemaskan serta banyak menguras pikiran demi memberikan hasil terbaiknya.
Sore menyambut hangat. Adzan ashar bergema lima menit yang lalu. Usai menunaikan sholat Nisa menatap tumpukan persyaratan berkas yang sudah ia susun rapi semalam. Malam ini, rencananya Nisa akan berkunjung ke rumah Husna, memintanya agar seluruh berkasnya di scan yang kemudian akan di upload pada web pendaftaran. Malam ini juga, Nisa akan segera mendaftar. Husna pun sudah berjanji akan membantunya usai men-scan seluruh persyaratannya.
Selang beberapa menit kemudian, Nisa beranjak. Menuju yayasan untuk kembali menyetorkan hafalannya.
Masa-masa ini menjadi masa-masa perjuangan bagi Nisa dan angkatannya. Masing-masing individu tengah fokus dalam mencari jurusan di setiap universitas yang diminati, baik melalui jalur prestasi ataupun jalur mandiri. Hanya sebagian kecil teman angkatannya yang benar-benar berniat melanjutkan kuliahnya di luar negeri. Sisanya, memilih untuk bekerja terlebih dahulu, karena keterbatasan ekonomi, mengadu nasib seraya membantu meringankan pekerjaaan orang tua. Sebagian lagi, melanjutkan perguruan tinggi negeri yang sudah dipilihnya.
Sejatinya, kedua temannya mampu saja, apabila mereka hendak melanjutkan studi-nya di luar negeri. Namun, keduanya lebih memilih untuk melanjutkan perguruan tinggi negeri yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Alasannya, karena kedua orang tuanya belum mengizinkannya. Toh, bukan masalah jauh dekatnya, orang bisa sukses untuk menggapai cita-citanya. Namun, seberapa besar mahasiswa tersebut dapat aktif dan berkontribusi nagi sekitarnya.
Nisa memilih tempat di bawah pohon rindang. Setelah hampir satu jam dirinya menghafal ayat-ayat qur’an, ia memberanikan diri untuk menyetorkannya ke ustadzah Alya. Beliau sudah menunggu murid-muridnya di depan surau.
Ia mulai menghafal secara perlahan, pandangannya tertunduk. Ustadzah Alya menyimaknya dengan seksama, sesekali mengetuk meja pelan dengan pulpen yang digenggamnya saat mendengar hafalan Nisa yang salah ataupun yang kurang lancar.
“Jadi daftar ke perguruan tinggi di luar negeri Nis?”
“Insya Allah Ustadzah. Nanti malam baru mau mendaftar.”
Ustadzah Alya mengangguk.
“Mohon do’anya,” Nisa mengamit tangan Ustadzah Alya dengan takdzim.
“Muyassar, Insya Allah,” balasnya dengan senyumannya yang begitu teduh.
Nisa beranjak ke pelataran surau di sisi kanan. Sembari menunggu adzan maghrib berkumandang, ia ulang kembali hafalan yang telah ia setorkan hari ini.