Hari-hari terakhir ini menjadi hari yang cukup berat bagi Nisa. Sehari setelah pengumuman hasil seleksi beasiswa tersebut, ia sudah mencoba berdamai dengan dirinya sendiri, ia putuskan untuk menerima segala hasil yang ia terima. Ia adukan segala kegundahan hati disetiap sujudnya kepada sang Ilahi. ia ingat kembali segala nasihat bulek dan ustadzah Alya. Namun, hingga seminggu kemudian, hati Nisa belum dikatakan pulih seperti sedia kala.
Baginya, ia bukan anak kecil lagi yang akan terus menerus menangis dikala keinginannya tidak tercapai. Sejak kecil, Nisa sudah belajar untuk terus tersenyum disaat hati sedang tidak baik-baik, ia juga sudah membiasakan diri untuk tertawa meski sejatinya ia sedang sedih.
Sepandai-pandainya Nisa menyembunyikan perasaannya di depan orang banyak, Husna dan Rowiyah merupakan orang yang tidak dapat dibohongi oleh keadaan Nisa yang sebenarnya. Keduanya sudah paham betul akan sifat Nisa selama ini. Mereka berdualah yang selama ini selalu bersiaga untuk senatiasa membantu dan mendukung apapun segala yang Nisa usahakan.
Selepas Ashar, Nisa kembali berangkat untuk menyetorkan hafalannya. Beberapa murid yang lain menyapanya ramah sepanjang jalan. Nisa membalasnya dengan senyuman. Hana, salah satu murid yayasan tersebut menghampirinya. Umurnya sebaya dengan Nisa, hanya saja Hana memilih sistem asrama pada yayasan tersebut untuk memfokuskan hafalan Al-Qur’annya.
“Apa kabar kawan?” tanyanya ramah.
Nisa tersenyum kecil. “Alhamdulillah, khoir.”
“Barakallah,” balas Hana ramah. “Semoga hari-harimu dilimpahkan keberkahan selalu,” Hana tampak tulus mendoakan Nisa.
Nisa menghela nafas. Lihatlah, dengan caranya tersendiri Hana, yang menjadi salah satu teman sebayanya di yayasan tersebut. Memiliki cara tersendiri untuk memberi dukungan kepada dirinya. Ia tahu, Hana memang tidak mendukung secara fisik untuk menyemangatinya. Namun segala do’a yang ia latunkan, Nisa tahu bahwa Hana begitu tulus untuk mendoakan segala keinginannya. Hana memang tidak memiliki keinginan yang muluk-muluk, hatinya begitu bersih dan tulus untuk senatiasa menghafal ayat-ayat qur’an. Semenjak kecil, Hana sudah bertekad untuk menghafal qur’an Lillah. Bukan semata-amata agar dilihat atau dipandang orang lain.
“Uhm.. Hana, apa yang sebenarnya memotivasi kamu untuk menghafal Al-Qur’an?” tanya Nisa tiba-tiba.
Dahi Hana mengernyit. Bingung.
“Ya, sebenarnya apa sih alasan mu untuk menghafal Al-qur’an?”
Hana terdiam sejenak.
“Bukankah Allah Swt telah memberikan kita nikmat yang luar biasa? Al-qur’an salah satunya, kenikmatan yang tidak pernah tertandingkan oleh apapun. Selain mempelajarinya, aku juga ingin menghafalnya. Kelak, diakhirat nanti aku ingin mendapat syafaat serta memuliakan kedua orang tuaku,” jawabnya pelan.
Nisa terenyuh. Sesaat ia memilih diam, meresapi jawaban akan pertanyaan yang ia lontarkan sendiri kepada Hana.
“Eh, sudahlah,” Hana kemudian mengalihkan pembicaraannya. “Selepas maghrib bisa ikut kajian kan?”
Nisa mengangguk. Kali ini ia tidak ragu dan tampak lebih bersemangat.
Hana pamit terlebih dahulu. Ia tengah mendapatkan tugas untuk piket di lantai dua. Lusa nanti, merupakan jadwalnya untuk mutqin kategori 25 juz. Namun, Hana selalu mengelak jika ada yang menyatakan kepada dirinya kagum akan keberhasilan yang ia raih. Baginya, itu semua bukan kemampuan yang ia lakukan sendiri, namun hal baginya tuhanlah yang telah mengizinkan untuk berbuat demikian.
Akhirnya, Nisa kembali melanjutkan ziyadah hafalannya.
Selepas maghrib, Nisa mengikuti halaqoh atau kajian rutin yang diadakan di aula yayasan. Halaqoh atau kajian sendiri, merupakan kelompok pembelajaran yang biasanya disampaikan oleh para musyrif dengan kajian untuk saling menyemangati dalam menghafal Al-Qur’an. Disamping itu ada juga motivasi-motivasi, maupun mutiara hikmah untuk meluruskan kembali hati seseorang sebagai penghafal Al-Qur’an.
Para santriwati membentuk lingkaran dengan rapi, Nisa duduk tepat disamping Hana. Kali ini ustadzah Izzah mendapatkan jadwal untuk mengisi halaqoh. Beliau melupakan salah seorang alumni Fakultas Al Azhar, Kairo Mesir dan baru lulus tahun lalu, disamping menuntut ilmu di negeri kinan tersebut, beliau juga rajin untuk talaqqi serta menghafal Al-Qur’an hingga memiliki sanad tersendiri. Penampilannya cukup sederhana. Ramah terhadap siapa pun, juga beliau memiliki kepribadian yang lemah lembut sehingga membuat santriwati begitu takjub dan segan dengannya. Nisa dan Hana ikut menyimak isi materi yang disampaikan.