Nisa tengah berkemas, memilah beberapa pakaian serta barang tertentu untuk dibawa ke asrama.
Bulek hanya melihatnya dari kejauhan. Seakan-akan Nisa sudah berkemas untuk pergi ke tempat yang jauh, padahal, jarak dari rumah ke yayasan kurang lebih hanya berjarak 200 meter saja.
Yang jelas, Nisa sudah benar-benar mantap untuk memfokuskan pada hafalannya terlebih dahulu. Urusan apakah ia akan lanjut kuliah atau bekerja, akan ia ikhtiar-kan kembali di sepanjang sepertiganya malam nanti. Ia yakin, Allah telah menyiapkan kado dan kejutan terindah untuk dirinya. Mungkin, jalan yang tengah ia pilih bukanlah jalan terbaik di mata orang lain, karena mereka menganggap jika Nisa menyia-nyiakan kesempatan yang telah datang kepadanya, disaat ia menjadi lulusan terbaik bahkan mendapat undangan perguruan tinggi melalui jalur prestasi. Namun, bagi dirinya, ia akan membuktikan jika hidup bukan melulu tentang suatu materi. Namun, ada tujuan akhir atau impian kekal yang ingin ia raih dan diperjuangkan.
Kelak, di akhirat nanti, ketika dikumpulkan di padang mahsyar, siapakah yang akan melindungi dan menyelematkannya nanti? Pun ketika perhitungan amal, mampukan Nisa mempertanggung jawabkan akan segala perbuatan buruknya yang telah ia lakukan di dunia?.
Sore ini Nisa pamit kepada Bulek. Kapan pun, mungkin Nisa boleh jadi kembali ke rumah bahkan bulek pun bisa menjenguknya selagi ada waktu. Namun, Nisa mengatakan jika ia hanya butuh dua hingga tiga bulan untuk fokus di asrama tersebut dan benar-benar menuntaskan hafalannya.
“Perlu diantar Nis?”
Nisa menggeleng.
“Nggak perlu Bulek, jarak dari rumah juga masih terjangkau kok.”
Bulek mengangguk.
Nisa pun beranjak, membawa satu ransel dan satu box kardus untuk keperluannya nanti.
Hana tengah menyambut di dekat pintu asrama. Rupanya, ustadzah Alya mengizinkan Hana yang meminta agar Nisa dapat sekamar dengannya.
Dengan sigap, Hana membantu Nisa menata barang pada almarinya. Kamar yang ditempat Nisa berada di lantai dua, tidak begitu luas. Namun, cukup untuk menampung empat orang disertai dengan barang dan kasur tingkatnya. Dua orang lainnya, berusia dua tahun lebih muda dari Nisa dan Hana. Mereka pun juga sudah lama menetap disini, kebetulan seorang yang sebelumnya tinggal di kamar ini, telah menyelesaikan hafalannya dan memutuskan untuk melanjutkan studynya di tempat lain. Nisa lah yang menggantikan satu tempat tidur yang sudah tidak dihuni.
::::
Hari kian berganti.
Dua bulan sudah, Nisa menetap di asrama ini.
Setiap waktu, tempat ini begitu syahdu bagi Nisa. Para santriwati tidak pernah melepaskan Al-qur’an dari genggamannya. Di setiap pojok ruangan, akan selalu ada seorang yang tengah ziyadah hafalan, maupun muroja’ah hafalannya. Setiap lisan santriwati pun seakan tak pernah lepas untuk senatiasa melatunkan ayat-ayat suci Al-qur’an. Seorang guru pernah menyampaikan, akan pentingnya muroja’ah bagi para penghafal Al-Qur’an. Karena menjaga akan ayat-ayat yang telah di hafal merupakan tantangan tersendiri bagi para penghafal Al-qur’an.
Jatuh bangun, mereka berusaha untuk menghafal ayat-ayat suci Al-qur’an. Namun, siapa sangka para penghafal qur’an tersebut memiliki nikmat tersendiri yang belum tentu di rasakan oleh orang lain.
Ada kalanya, rasa lelah atau terbesit untuk menyerah dalam hati sebagian santriwati. Namun, berhenti untuk menghafalkan akan lebih mendatangkan rasa penyesalan yang tak terhingga.