Bersua di Jannah-Nya

Rahmah Athaillah
Chapter #14

Kala Itu Tahun 2005 Silam

Di sepertiga malam yang sunyi, seorang Ibu sedang berjuang diantara hidup dan matinya. Keringat bercucuran di pelipisnya, nafasnya tersenggal, namun lisannya tak pernah terhenti untuk selalu menyebut asma-Nya. Jemari di tangan kanannya menggenggam erat tangan seseorang yang selalu mengkhawatirkannya di setiap waktu, berharap agar keadaan tetap baik-baik saja. Azzam namanya, perawakannya tidak begitu menonjol. Namun, ia seorang lelaki yang teduh dan tidak banyak bicara. Hanya karena dirinya berani mempersunting seorang gadis mualaf dan tidak diketahui latar belakang hidupnya ia rela angkat kaki dari rumah kedua orang tuanya. Azzam hidup dalam lingkungan yang religius, ayah Azzam seorang pendakwah yang disegani oleh banyak orang, sedangkan Ibunya banyak membantu orang banyak dalam kegiatan sosial. Tak heran jika keluarganya merupakan keluarga yang sangat terpandang.

Jiwa dakwahnya pun juga mengalir dalam nadi Azzam, hal inilah yang menjadikan tekadnya kuat untuk mempersunting Anindya, gadis mualaf yang ia temui di sebuah masjid di pinggir kota. Azzam ingin berdakwah, membimbing Anindya sembari membangun rumah tangga yang sakinah. Hal ini justru membuat sang ayah murka, menganggap Azzam selalu berdalih ingin berdakwah padahal belum paham ilmu agama banyak. Namun, tekad Azzam sudah bulat ia tetap menikahi Anindya dan memilih tinggal di rumah yang sederhana di pinggiran kota Yogyakarta.

Ternyata, Tuhan pun begitu baik menguji Azzam dan istrinya dalam mengarungi bahtera pernikahan. Keduanya belum dikarunia keturunan meski sudah menanti dan berikhtiar selama delapan tahun. Sesaat, Anindya pernah berputus asa, seakan dirinyalah yang membuat keluarganya belum mempunyai keturunan. Namun, dengan segala kesabarannya Azzam meluruskan prasangka yang salah. Bahwa semua ini sudah menjadi kehendak Allah, yang disetiap kehendaknya akan selalu ada hikmah dan pelajaran yang dipetik. Anindya mengalah, secara perlahan ia mencoba mengerti dan mengikuti apa yang dikatakan suaminya.

Sudah setengah jam berlalu, Anindya sudah tampak kelelahan. Ia hampir saja berputus asa. Namun, orang-orang disekitarnya terus menguatkan sambil membujuk agar Anindya mencoba kembali. Azzam, suaminya kembali mengusap dahi sang istri dengan lembut, tangan satunya masih menggenggam jemari sang istri dengan erat. Berbisik, bahwa semua akan baik-baik saja.

Sepuluh menit berlalu.

Tangis seorang bayi terdengar. Azzam mengucap takbir berkali-kali, sembari mengusap dahi sang istri dengan penuh kasih sayang. Buah hati yang telah dinantikan sejak delapan tahun terakhir akhirnya telah lahir ke dunia. Semua yang menyaksikan peristiwa berharga itu menghembuskan nafasnya dengan lega, seuntai senyum pun terlukis disetiap wajahnya. Begitu pula dengan Anindya, tubuhnya masih terlihat lemas, namun binar matanya mengungkapkan bahwa ia baik-baik saja. Azzam men-adzani sang buah hati yang baru terlahir. Perasaan haru tak dapat dibendung lagi. Meluap sudah kebahagiaan Azzam dan Anindya.

“Perempuan mas..” ujar Anindya.

Azzam mengangguk. “Namanya?”

“Aku manut, mas,” Anindya menatap Azzam dalam.

“Nisa Hafidzah,” ujar Azzam yakin, kali ini tatapannya tajam. “Insya Allah ia akan menjadi seorang penghafal Al-qur’an kelak. Bukan hanya sekedar hafal, namun segala akhlak dan perilakunya adalah cerminan Al-qur’an,” Azzam menguraikan arti nama untuk sang buah hati.

“Amiin,” sahut Anindya. Tubuhnya masih terlihat lemah, namun seolah ia tidak merasakan sakit demi melihat buah hatinya yang baru lahir.

Malam itu, sebuah nama diberikan untuk seorang bayi yang baru hadir di tengah kehidupan dunia. Nama yang penuh dengan beribu harapan dan do’a, ‘wanita penghafal al-qur’an’ agar kelak keturunannya menjadi insan yang berguna dan bermanfaat, bahkan menjadi hamba Allah yang senatiasa mengamalkan segala amalan yang berada di dalam Al-Qur’an, bukan menjadi manusia yang kerap mendustakan agamanya. Dan Ruangan dengan ciri khasnya yang berwarna putih seolah menjadi saksi atas ketulusan serta kasih sayang Azzam dan Anindya untuk Nisa. Ditengah kesenyapan fajar, dikala adzan subuh akan segera berkumandang, keduanya berjanji, akan menjaga Nisa hingga maut memisahkan.

:::::

“Nisa, makan dulu!” seru Anindya. Ia datang tergopoh-gopoh sembari membawa piring berisikan nasi dan sayur bayam.

“Siap umi,” Nisa kecil berlari kecil, menghampiri Anindya yang menunggunya di ruang depan. Kini Nisa tumbuh menjadi gadis kecil yang gesit dan penurut, usianya sudah menginjak di tahun yang kelina. Anindya merawat buah hatinya dengan penuh kasih sayang

“Makan pakai apa umi?”

“Pakai sayur, biar Nisa bisa tumbuh keatas,” Anindya menyodorkan sesuap nasi ke mulut Nisa.

Nisa pun melahapnya dengan semangat. “Umi, Abi kapan pulang?”

“Insya Allah nanti malam, Nis..”

Nisa kecil terus berceloteh sembari melahap suapan nasi. Dengan telaten ia menyuapi Nisa yang terus berceloteh tentang banyak hal. Meski sudah diingatkan oleh Anindya, untuk tidak berbicara ketika makan. Nisa tetap saja menanyakan hal-hal yang terlintas di benaknya. Bertanya kapan Abi-nya pulang, jadwal untuk sekolahnya, makanan yang akan dimasak nanti malam serta hal-hal lain yang terkadang Anindya harus pandai dalam menjawabnya.

Handpone miliknya berdering. Nama Azzam tertera dalam layar kaca gawainya, ternyata suaminya menelfon.

“Assalamu’alaikum, ya mas ada apa?”

“Maaf ini dengan kerabat saudara Azzam?” tanya seseorang di sebrang sana.

Deg! Hati Anindya berdegup, bukan suaminya yang menelfon. Pertanda apakah ini. “Ya, saya istrinya. Kenapa ya pak?”

Bagai hati yang dihujam belati, Anindya merasakan sakit yang amat luar biasa, ia tersungkur diatas lantai, jemarinya melepaskan handpone yang sedari tadi berada dalam genggamannya. Di siang bolong, tak ada sapa tak ada duga, seseorang mengabarkan bahwa Azzam dilarikan di rumah sakit karena mengalami kecelakaan saat ia hendak pulang ke rumahnya. Bukan tanpa sebab Azzam pulang lebih awal, melihat hari ini adalah hari ulang tahun istri tercintanya, ia berniat mengajak Anindya dan Nisa untuk makan di luar rumah, sembari membeli kebutuhan rumah yang hampir habis. Anindya terperanjat, pikirannya mulai meracau, namun dirinya berusaha mengucap dzikir, berharap keadaan akan baik-baik saja.

Lihat selengkapnya