Bersua

Chika Manupada
Chapter #1

Episode 1

"Heh, di mana lo sekarang?"

"Masih on the way. Kenapa?"

"Tinggal tigaan doang nih yang belum nyampe dan elo salah satunya! Emang, penyakit lo ini enggak ada obatnya. Ngareeeeet!"

Aku tertawa mendengar koar-koar sahabatku dari ponselku menyoal penyakit ngaretku yang katanya tidak ada obatnya. Kalau penyakitku adalah ngaret, maka sahabatku ini—namanya Dhea—juga punya penyakit kronisnya sendiri, yaitu ngomel tidak kelar-kelar. Aku sudah bersahabat dengan Dhea sejak SMP, 12 tahun yang lalu, dan memang Dhea ini dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa mulut yang memiliki kapasitas untuk bisa tidak berhenti ngoceh dan ngomel seharian.

"Dhea, gue enggak ada maksud buat ngaret, beneran, deh. Bos gue tiba-tiba ngasih banyak kerjaan hari ini, makanya gw dateng telat. Kalau aja dia enggak rese tiba-tiba kayak tadi, gue pasti dateng on time," aku jelaskan padanya, sembari memandangi jalanan yang padat dan ramai dari jendela kopaja yang kutumpangi dari halte depan gedung kantor. "Lagian, di sini macet banget, serius. Kayaknya gue bakalan stuck di sini sepuluh menitan lagi."

Dhea tidak melanjutkan aksi mengomelnya, apalagi dia tahu betul aku memang bekerja di salah satu titik tersibuk—yang artinya sudah pasti termacet—di ibu kota. Selain itu, jam pulang kantorku hari ini memang lebih telat dari biasanya. Penyakit ngaret atau bukan, aku memang ditakdirkan datang terlambat ke acara reunian SMP-ku sore ini.

"Yaudah deh, gue kasih tau anak-anak kalau elo datengnya telat," akhirnya, Dhea hanya bisa menghela napas dan berpasrah. Untunglah.

"Makasih banyak, Dhea," ucapku padanya. "Setidaknya gue ada temen telat, hehehe."

Dea mendengus. "Iya, iya, cepetan ya pokoknya. Kita enggak bisa mulai acaranya nih kalau kita belom lengkap."

"Kalian semua yang udah nyampe di sana pada berdoa barenglah supaya ada mukjizat dan hilang ini macetnya dalam sekejap," kekehku. "Udah ah, daaah!"

Dhea bergumam seperangkat kata-kata kasar sebelum akhirnya ia mengakhiri panggilannya. Aku hanya bisa mengangkat bahu—karena sudah biasa mendengar Dhea bicara kasar atau jorok sekali pun—dan menyimpan kembali ponselku ke dalam tas gendongku. Lima menit berlalu, ternyata aku masih tersangkut di titik yang sama, dan akhirnya aku mengeluarkan iPod jadul dari dalam tasku dan mendengarkan musik, berharap aku tidak bosan atau bahkan jadi senewen.

Saat mataku kembali menatap kekacauan lalu lintas dari jendela, aku menemukan mobil merah di samping kopaja yang aku tumpangi. Aku melihat seorang laki-laki muda di balik kemudi, terlihat jengkel dengan kemacetan yang mengelilinginya. Rambut gelapnya tertata rapi dan ia mengenakan kemeja lengan panjang putih yang lengannya digulung hingga sikunya, memperlihatkan lengannya yang gagah—tampilan standar eksekutif muda yang baru saja pulang dari kantor.

Tapi, anehnya, aku merasa aku tahu dia. Aku hanya bisa melihat tampak samping wajahnya melalui jendela berdebu ini, jadi aku tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya seperti apa. Tentu, dia ganteng banget tapi rasa-rasanya aku tidak punya teman atau kenalan yang rupa juga bentuknya seperti dia. Temen sekantor aku juga tidak ada yang terlihat seperti dia, tapi kenapa aku merasa familiar?

Seketika, laki-laki itu menoleh menatap ke arahku dan aku buru-buru memandang ke depan, tidak mau dituduh sebagai pengintai lelaki tampan ibu kota. Aku memang hampir 27 tahun tahun ini dan masih single, tapi bukan berarti aku nelangsa sampai nekat memandangi laki-laki sesembarangan ini. Pasti gara-gara macet, nih! gerutuku, mengambinghitamkan macet.

Seakan semesta ini tengah terintegrasi untuk menyelamatkan gengsiku, akhirnya kopaja pun maju dan meninggalkan mobil merah tersebut.

Aku pun sampai di restoran di mana aku akan berjumpa teman-teman lamaku untuk reunian sekitar 15 menit kemudian. Begitu aku memasuki restoran tersebut, aku disambut dengan gegap-gempita oleh orang-orang yang menempati meja-meja di pojokan—teman-teman sekelasku ketika SMP kelas 9. Aku menyapa dan menyalami mereka satu per satu sampai akhirnya aku berpelukan dengan sahabatku, Dhea.

"ANDRAAA!" teriaknya, membuat teman-teman kami geleng-geleng kepala karena bisa-bisanya kami berdua seheboh ini padahal sering bertemu, setidaknya seminggu sekali. "Nyampe juga lo akhirnya!"

"Akhirnya ya," kataku, menepuk punggungnya sebelum melepas pelukan dan akhirnya duduk di salah satu dari dua kursi yang tersisa di sampingnya. "Jadi… gue enggak yang paling telat, kan?"

"Untungnya enggak," Dhea menunjuk satu kursi kosong tersisa di sampingku. "Ilham si misterius belum sampai, nih. Si Anton bilang dia juga kena macet."

"Ilham?" tanyaku, mengambil jus jeruknya Dhea dan menenggaknya hingga tetes terakhir, membuat si empunya menggeram karena jengkel. "Emangnya dulu di kelas kita ada yang namanya Ilham?"

Cewek-cewek yang duduk di dekatku dan Dhea cekikikan mendengar pertanyaanku—yang sepertinya terdengar bodoh. Tapi mohon maaf saja ini, aku memang tidak ingat punya teman sekelas yang namanya Ilham ketika masih SMP dulu. Lagian selain itu, memori ingatan aku ini memang agak-agak seperti komputer pentium zaman dodol, apalagi terhadap orang-orang yang jarang aku temui.

Bahkan orang-orang yang barusan kusapa dan kusalami pun tidak semuanya aku ingat namanya dan seperti apa rupa mereka dulu.

"Duh, Ndra, lo masih aja belum berubah," Marissa, salah satu teman sekelasku yang dulu hobinya menggosip—dan sepertinya belum berubah juga meskipun sudah menikah setahun yang lalu—memberikan komentar sambil geleng-geleng kepala. Bahkan nada bicaranya masih sama persis seperti dulu. Untuk spesies seperti Marissa, masih aman tersimpan jelas dalam memoriku yang kapasitasnya agak pas-pasan ini. "Masih aja pikun kayak nenek-nenek."

"Dih, mendingan pikun deh daripada masih aja suka ngegosip kayak lo," tukasku, tentu saja bercanda dan no hard feelings, dan yang lain juga tertawa mendengar balasanku. Orang yang ceplas-ceplos seperti Marissa memang harus ditanggapi dengan intensitas yang serupa karena kalau tidak, bisa habis diinjak-injak olehnya.

"Terus masih aja enggak peka," Qory, yang paling cantik dari kita semua sejak dulu dan masih sampai sekarang, pun ikut menimpali meskipun nada bicaranya masih sedikit lebih enak didengar daripada si Marissa karena pada dasarnya anaknya memang kalem dari dulu. "Kok bisa sih lo lupa sama yang duduk di sebelah lo di kelas, Ndra?"

"Woi, woi, jangan gitu dong sama Andra," Dhea langsung menengahi sambil memelukku dari sambil dengan protektifnya, membuatku menjulurkan lidah kepada mereka dengan penuh kemenangan (atau kekanak-kanakan, lebih tepatnya). "Harap maklum dan jangan sekaget itu kalau dia enggak inget Ilham. Dia kan emang bener-bener hilang dari peredaran begitu lulus SMP."

"Iya sih, bener juga lo," Vanessa, teman sekelasku yang lain menyahut sambil menganggukkan kepalanya. "Abis lulus-lulusan SMP dia langsung pindah ke Jerman, kan? Terus baru balik lagi ke sini baru-baru ini, kata si Anton."

Lihat selengkapnya