Bersua

Chika Manupada
Chapter #2

Episode 2

Sekitar lima jam kemudian, tepat jam 11 malam, acara reunian pun akhirnya selesai dan kami mulai bubar satu per satu pulang ke rumah masing-masing. 

Seakan-akan tidak cukup kenyataan bahwa aku harus pulang ke apartemenku dengan kopaja (lagi), langit malam pun meraung dan menangis dengan derasnya untuk menambah persoalan hidupku hari ini. Biasanya kalau ada acara kumpul sampai malam seperti ini, aku selalu nebeng mobil Dhea, tapi untuk kali ini ia sudah pulang duluan karena ada urusan jadi aku tidak bisa nebeng. Hampir semua teman-temanku yang lain sudah pulang duluan dengan kendaraan masing-masing dan aku merasa sungkan untuk nebeng karena aku merasa tidak terlalu akrab.

Naik kopaja apa pesan ojol aja, ya? pikirku. Aku mengeluarkan ponselku dan membuka aplikasi ojol untuk mencari taksi ke arah apartemenku. Saat aku melihat tarifnya, hampir saja aku tersedak air liurku sendiri karena mahalnya tidak kira-kira dan langsung kuurungkan niatku untuk pesan ojol. Mendingan gue naik kopaja, deh. Masih ada kayaknya jam segini.

Dengan pikiranku sibuk mengutuk hujan yang deras juga kilat petir yang menggelegar, aku mengeluarkan payungku yang berwarna kuning polos dari tasku. Aku tahu besok itu hari Sabtu dan artinya aku tidak ke kantor, tapi tetap saja membayangkan sepatu dan tasku basah kena hujan itu membuat mood-ku melempem.

"Andra!" suara serak dan berat itu tiba-tiba menghentikan langkahku untuk menerabas hujan menuju halte di jalan seberang restoran. Saat aku menoleh ke belakang, aku melihat Ilham yang terburu-buru menghampiriku. Lah, kukira dia sudah pulang dari tadi. "Mau ke mana lo?"

"Ya mau pulanglah, ke mana lagi?" gerutuku, seakan ia baru saja melontarkan pertanyaan paling bodoh sedunia kepadaku.

Tetapi ia malah terkekeh mendengar jawabanku yang terdengar agak beringas; sama sekali tidak terlihat terkejut atau tersinggung atau bahkan ketakutan. "Sori, sori, salah pertanyaan gue," ucapnya sambil tersenyum dan lagi-lagi senyum simpulnya itu dengan ajaibnya menginvasi akal sehatku. "Maksud gue, lo pulang naik kendaraan umum?"

Aku mengangguk. "Iya, gue harus naik kopaja kalau masih ada," jawabku sambil mengangkat bahu, pasrah. "Kalau enggak ada yaudah deh palingan gue naik taksi." tidak ikhlas rasanya aku membayangkan pada akhirnya harus pulang naik taksi dengan tarif selangit seperti yang barusan aku lihat. Lebih baik uangnya aku pakai untuk beli baju baru untuk ke kantor.

"Bahaya enggak sih kalau lo balik sendiri malem-malem begini?" tanyanya, terdengar cemas dan… tulus. Aku benar-benar mendengar ketulusan dari nada bicaranya. "Gimana kalau gue aja yang anter lo pulang?"

"Hah? Enggak usah, enggak apa-apa, gue bisa balik sendiri, kok!"

"Enggak apa-apa, gue anter aja, ya."

"Ih, gue bisa kok pulang sendiri!"

Tapi, lima menit kemudian, tahu-tahu aku dan Ilham sudah sama-sama duduk di dalam mobil merahnya, sedikit basah kuyup karena kami berdua berlari ke arah tempat parkir dengan payung kuning kecilku menaungi kami berdua. 

Ilham ini sangat pandai dan persuasif dalam bertutur kata sampai aku tidak bisa menolak tawarannya untuk mengantarku pulang dan berakhir duduk di sampingnya di dalam mobil (tapi aku juga menolaknya memang agak setengah hati juga, sih, kan lumayan bisa pulang gratis). Namun, di sinilah ujian hidupku selanjutnya untuk hari ini dimulai.

Seolah-olah memandanginya menyetir mobil dari samping melalui jendela kopaja yang berdebu belum cukup, kini Tuhan memberikanku kesempatan besar untuk melihat tampak sampingnya dari jarak sedekat ini. Dekat banget sampai aku bisa mencium wangi parfumnya yang masih juga betah bertahan di badannya.

Kenapa sih hidup gue ribet banget, aku menghela napas dalam-dalam.

Setelah menyalakan mesin mobilnya, ia pun menginjak pedal gas dan perlahan-lahan mobil pun mulai melaju menembus hujan.

"Jadi elo beneran tinggal sendiri?" tanya Ilham setelah aku beri tahu alamat apartemenku dan aku tinggal sendirian di sana hampir lebih dari 3 tahun. "Wow, enggak nyangka gue."

"Kenapa enggak nyangka?" aku bertanya balik padanya, bingung.

"Ya… gue enggak nyangka lo beneran tinggal sendiri," balasnya, dengan matanya masih terfokus pada jalan di depannya. Dan jujur, lengannya yang kokoh dan gagah itu mulai mendistraksiku. "Gue pikir lo bercanda pas tadi bilang ke anak-anak kalau lo single. Gara-gara Dhea bentar lagi nikah, gue kira elo sebenernya punya pacar terus tinggal bareng sama dia gitu."

Kerutan di keningku jadi berlapis-lapis mendengar asumsinya. "Kalau nyokap gue tau gue tinggal bareng serumah sama laki-laki yang bukan suami gue, bisa dipecat gue jadi anak terus gue dimasukkin ke pesantren biar gue tobat, enggak peduli gue udah umur segini juga," nyap-nyaplah aku jadinya. Aku bermaksud untuk memarahinya dan bukannya melucu, tetapi Ilham malah terpingkal-pingkal sampai geleng-geleng kepala.

"Sori, gue tuh udah lumayan lama tinggal di luar terus banyak temen-temen gue yang hidupnya kayak begitu," Ilham pun meminta maaf dan aku maafkan, tentu saja, karena aku paham di lingkungan seperti apa ia hidup sebelumnya.

Lihat selengkapnya