Bersua

Chika Manupada
Chapter #3

Episode 3

Ding dong!

Ding dong!

Ding dong!

Ding dong!

Ya ampun, siapa sih itu?! jeritku dalam hati, menyembunyikan kepalaku di bawah bantal, berharap suara bel pintu apartemenku berhenti berdenting.

Ding dong!

Ding dong!

Tapi ternyata tidak semudah dan secepat itu, Rosalinda.

Sambil bersungut-sungut dan mengeluh seperti sapi mengamuk, aku pun bangun—kalau itu bukan lompat—dari tempat tidurku dan melangkah dengan derap penuh amarah menuju pintu. Aku benar-benar dongkol. Bagaimana tidak? Semalam aku pulang cukup larut karena harus lembur dan aku berharap hari Sabtu ini bisa bangun siang, eh tahunya di jam 6 pagi seperti ini sudah ada yang orang gila yang datang ke apartemenku.

Ding dong!

Aku membuka pintu—nyaris membantingnya bahkan—dan di hadapanku berdiri laki-laki tinggi juga ganteng dengan senyum lebar di wajahnya, berkebalikan dengan wajahku yang bertekuk-tekuk. Iya betul, ialah orang gila itu: Ilham Adiatama.

Orang yang kutahu ia menyukaiku dan orang yang tahu aku menyukainya saat ini—tapi kami masih belum resmi berpacaran. 

"Elo tuh ngapain, sih?!" gertakku sambil menghentakkan kaki di keset bertuliskan Welcome-ku. "Ini tuh jam berapa coba?!"

"Jam enam pagi," jawabnya dengan nada riang gembira. "Kan kita udah janjian hari ini mau lari pagi."

"Hah? Kapan emangnya gue janji mau lari pagi bareng lo?"

"Hari Kamis malem."

Oh iya, bener. Kenapa sih gue bikin janji yang enggak mutu? gerutuku dalam hati. "Tapi ini baru jam enam pagi, tau. Elo juga bukannya kemarin abis lembur bahkan balik lebih malem dari gue? Emangnya lo enggak pengen mager-mageran pagi ini?"

"Tapi kan kita udah ada janji…"

Dengan kedua mataku yang masih terkantuk-kantuk, aku memindai Ilham dari ujung kaki sampai ujung kepala hingga terhenti di wajahnya. Berbeda dari tampilan hari kerjanya yang rapi dan lumayan formal, pagi ini ia hanya mengenakan kaus pendek berwarna putih, celana lari panjang berwarna abu-abu, dan sepatu lari berwarna biru dongker. Dari tampilannya saja, sudah terlihat betapa niatnya ia ingin lari pagi denganku dan mana bisa aku menolaknya mentah-mentah lalu mengusirnya dari apartemenku.

Meskipun aku agak mangkel, tapi aku juga masih punya perasaan.

Akhirnya, aku pun mempersilakan Ilham masuk dan wajahnya langsung menyala dalam sekejap, saking senangnya akhirnya aku luluh. Aku menyuruhnya duduk di sofa dan mempersilakan ambil atau buat minum sendiri kalau haus dengan bahasa kumur-kumur sebelum masuk ke kamar mandi untuk buang air kecil, cuci muka, dan sikat gigi.

Sepuluh menit kemudian, aku keluar dari kamar mandi dan langsung ngacir ke kamar tidurku untuk ganti baju. Celana piyama panjang polkadot (atasannya entah sudah ke mana) dan hoodie yang sudah lusuh yang kukenakan untuk tidur kuganti dengan kaus pendek berwarna abu-abu, celana lari panjang berwarna hitam, dan tak lupa mengenakan kaus kaki bermotif stroberiku. 

Dengan krim tabir surya di tanganku, aku pun menghampiri Ilham yang masih duduk manis di sofa dengan dua gelas air putih di atas meja.

Aku menenggak air putih milikku dan mengenakan tabir surya di wajah serta tangan dan kakiku. "Elo udah pakai sunscreen sama sunblock?"

Ilham menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lupa. Tadi gue buru-buru ke sini."

"Tuh kan, bener aja," ucapku, memberi tanda padanya untuk mendekat dan aku mulai membaurkan krim tabir surya ke wajah dan kedua tangannya. Untuk kaki, aku suruh saja dia baurkan sendiri (karena antara susah dan aku baru ingat untuk malu—ngapain sih gue ribet banget pakein dia sunscreen sama sunblock padahal dia bisa pake sendiri?!).

Beberapa saat kemudian, kami berdua sudah di parkiran basemen dan duduk di dalam mobil, bersiap menuju salah satu taman kota di ibu kota untuk lari pagi. Begitu mobil dinyalakan, Ilham langsung mengenakan kacamata hitamnya (dan membuat perutku mulas tiba-tiba) karena di luar sana fajar sudah mulai menyingsing, sedangkan aku mengeluarkan ponselku untuk menyambungkannya ke pemutar musik melalui bluetooth dan karena sudah lumayan sering aku nebeng di mobilnya Ilham, pemutar musiknya pun sudah kenal dengan bluetooth-ku. 

Lagu pertama yang kebetulan diputar playlist berjudul 'Selamat Pagi!' Spotify-ku adalah Sunday Best dari Surfaces. Yah, cocoklah untuk diputar pagi hari ini meskipun sekarang hari Sabtu, bukannya hari Minggu seperti yang diceritakan lagunya.

Begitu dentingan musik di bagian intro lagu selesai dan masuk lirik bait pertama, kami berdua kompak berkoar, "Hey, feeling good! Like I should!" kemudian tertawa terbahak-bahak karena memang hanya bagian itu saja lirik yang kami tahu saking sering dengar di mana-mana belakangan ini.

Untuk urusan selera musik, kami berdua kebetulan satu tipe, yaitu penikmat musik omnivora alias mendengarkan segala macam lagu—tak masalah genre, bahasa, atau pun artisnya. Jadi, kalau aku sedang ingin mendengarkan lagu apa pun itu di dalam mobil, Ilham tidak pernah protes dan selalu bisa menikmati lagu yang kudengarkan dan begitu juga sebaliknya. 

Dengar lagu ballad Indonesia? Ayo! Kalau lagu keroncong? Yowes! Lagu EDM yang berisik? Lanjut! Lagu India? Tidak masalah! Lagu Indie? Sikat! Kalau lagu K-Pop? Ilham bahkan hapal dari awal sampai akhir lirik juga gerakan lagu SNSD yang judulnya Lion Heart dan nge-fans banget sama membernya yang namanya Yoona karena katanya mirip denganku (kayaknya Ilham harus periksa mata lagi ke dokter, siapa tahu minusnya sudah meroket sekarang).

Tidak seperti kalau aku nebeng di mobil Dhea karena ia saklek kalau urusan selera musik. Ia hanya mendengarkan lagu-lagunya Maliq & D'Essentials dan Maroon 5 dan malas menambah khazanah lagu-lagu dari artis lain. Bisa mengamuk ida kalau tiba-tiba aku ganti lagu yang ia putar dengan lagu random yang sedang diputar di radio.

"Elo masih ngantuk banget ya, Ndra?" tanya Ilham, begitu ia melihatku menguap lebar-lebar sambil mengikat asal-asalan rambut sepunggungku. "Sori…"

Ilham dan hobinya yang gemar bilang 'Sori…'. 

Sebenarnya aku sudah tidak sedongkol tadi, saat aku baru bangun tidur. Selain itu, memang betul Kamis malam lalu aku sudah janji pada Ilham akan menemaninya lari pagi hari ini sambil berburu makanan sarapan khas Indonesia karena Ilham sudah kangen makan bubur ayam, lontong sayur, ketoprak, nasi uduk, dan gado-gado—yang juga merupakan makanan-makanan favoritku. Aku paling tidak suka kalau sudah buat janji kemudian tidak kutepati.

Jadi, sebenarnya aku lumayan bersemangat juga sih untuk olahraga kali ini (meskipun berburu makanan adalah tujuan utamaku, jelas).

"Enggak apa-apa," kataku, menepuk pelan bahunya. "Iya, gue masih ngantuk, tapi kan gue udah janji mau lari pagi sama lo hari ini. Lagian gue juga emang dari kemarin-kemarin kepingin banget makan bubur ayam sama ketoprak, jadi yaudah, sekalian."

"Gue juga hari ini pingin makan bubur ayam sama ketoprak!" seru Ilham, begitu bersemangat seperti anak kecil yang akan dibelikan mainan oleh ibunya. "Gimana kalo kita sharing aja? Kan elo suka enek kalau makan berat pagi-pagi."

Oh iya, benar juga, pikirku. 

Aku sering kali takjub dengan Ilham dan ingatannya mengenai banyak hal, termasuk mengenai diriku. Karena kami berdua ini pada dasarnya sudah seperti dua orang yang berbeda dari kami saat masih SMP dulu, maka bisa dibilang aku dan Ilham ini sekarang seperti berusaha saling mengenal lagi dari nol. Hampir 3 minggu kami saling mengenal satu sama lain, pengetahuan Ilham tentang diriku jauh lebih banyak dibandingkan pengetahuanku tentang dirinya.

Contohnya seperti barusan. Ia sepertinya ngeh dan ingat kalau aku tidak bisa makan makanan berat pagi-pagi karena ia selalu mendengar ceritaku yang sebelum berangkat ke kantor aku hanya bisa makan selembar roti tawar dan segelas air putih dan baru bisa makan yang lebih berat di atas jam 10 pagi. Makanya, kalau ia sedang perhatian ingin membelikan aku sarapan, pasti delivery darinya tiba di kantor di atas jam 10 pagi. 

Kadang kalau sedang begini aku suka minder karena perhatianku tidak sebanyak perhatiannya padaku.

Lihat selengkapnya