Namaku Andhika Tulus Pratama, dan aku lahir di Palembang, di tengah-tengah keluarga yang serba kekurangan. Sejak kecil, aku sudah diajarkan untuk berjuang, dan perjalanan hidupku dimulai dengan jalan yang cukup panjang dan berliku. Dalam kenangan yang membekas di pikiranku, aku ingat saat aku berusia enam tahun, melangkah pertama kali menuju TK Elektrina, sekolah yang menjadi gerbang pengetahuanku.
Setiap hari, aku harus menempuh perjalanan sejauh dua kilometer. Rasanya, jalan itu tak pernah berujung, dan saat melangkah, pikiranku melayang jauh. Di benakku terbayang wajah-wajah teman-temanku yang beruntung, yang diantar oleh orang tua mereka dengan penuh kasih sayang. Sementara aku, setiap pagi, berangkat sendiri, menapaki jalan setapak yang tak selalu nyaman. Dalam perjalanan itu, kadang-kadang aku merasa kesepian, tetapi aku berusaha untuk tetap tegar, mengingat cita-cita yang ku simpan dalam hati.
Hari pertamaku di TK Elektrina terasa menyedihkan. Di ruang kelas, semua anak tampak ceria, bercengkerama dengan orang tua mereka. Aku hanya duduk di sudut, merasa terasing. Ketika bel berbunyi, tanda waktu belajar dimulai, hatiku bergetar. Mungkin ini adalah momen yang akan mengubah segalanya. Namun, ketika guru mulai mengajarkan huruf dan angka, aku merasa lebih terasing. Kenangan perjalanan jauh itu kembali menghantuiku. Rasa jenuh menggelayut di pikiranku, dan tanpa sadar, aku berlari keluar kelas, kabur dari tempat yang seharusnya memberiku pengetahuan.
Tak lama setelah kabur, aku berlari ke tempat kerja ibuku, yang hanya beberapa kilometer dari sekolah. Saat tiba, aku menemukan ibuku yang terkejut melihatku di sana. "Andhika, kenapa kamu di sini?" tanyanya, wajahnya penuh kekhawatiran. Aku hanya bisa terdiam, tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaanku yang bercampur aduk. Aku merasa kecil dan tak berarti dibandingkan teman-teman lain yang memiliki dukungan penuh dari orang tua mereka.