Setelah menjalani perjalanan penuh liku di SD Negeri 224 Kertapati, keluargaku akhirnya memutuskan untuk pindah lagi. Kini, aku melanjutkan pendidikan di SD 85, sebuah sekolah yang dekat dengan rumah baru kami. Harapanku untuk menemukan suasana yang lebih baik sempat menggebu-gebu, namun kenyataan sering kali tidak seindah yang dibayangkan.
Memasuki sekolah baru, aku merasakan harapan dan kekhawatiran yang campur aduk. Di sini, aku bertekad untuk memulai lembaran baru, menghilangkan semua kenangan pahit dari sekolah sebelumnya. Namun, tidak lama setelah memasuki kelas, aku segera menyadari bahwa tantangan baru menantiku. Di SD 85, bullying bukan hanya sekadar masalah sepele; itu adalah kenyataan yang harus kuhadapi setiap hari.
Awalnya, aku berusaha untuk bersikap tenang dan tidak memperdulikan omongan orang. Namun, semakin hari, perlakuan mereka semakin parah. Mereka mengolok-olok penampilanku yang berbeda dan kadang-kadang merendahkan nilai-nilaiku yang sebelumnya sudah kuperbaiki. Setiap kali aku mendengar ejekan itu, hatiku terasa hancur. Namun, aku bertekad untuk tidak memberi mereka kepuasan dengan menunjukkan betapa sakitnya hatiku. Aku hanya bisa tersenyum pahit dan berusaha untuk fokus pada pelajaran.
Di tengah semua kesulitan itu, aku menemukan seberkas harapan dalam sosok seorang guru. Ibu Rina, guru yang sangat peduli, melihat potensi dalam diriku dan memberikan dorongan yang sangat berarti. "Andhika, kamu punya bakat yang luar biasa. Jangan biarkan orang lain membuatmu merasa kecil," ujarnya dengan tulus. Kata-kata itu seolah menyalakan kembali semangatku yang mulai pudar.
Namun, di balik dukungan dari guru, perjuanganku di sekolah tetap berat. Setiap hari, aku harus menghadapi situasi yang tidak nyaman, dan terkadang, rasa lelah itu menggerogoti semangatku. Bullying yang kuhadapi bukan hanya fisik, tetapi juga emosional. Di malam hari, saat semua orang tertidur, aku sering terbangun memikirkan semua kejadian buruk itu, merasakan kepedihan yang menghimpit hatiku.