Hari-hari berlalu, dan setiap pagi saya bangun lebih awal dari biasanya. Jam lima subuh adalah waktu yang ditetapkan untuk memulai hari. Setelah berdoa dan sarapan cepat, saya berangkat ke tempat kerja ayah saya, yang terletak jauh dari rumah. Perjalanan 12 km itu sudah menjadi rutinitas yang tidak pernah saya inginkan, tetapi tidak ada pilihan lain. Setiap kali saya melangkah keluar, rasa lelah dan kesedihan membayangi saya, namun tekad untuk belajar dan meraih cita-cita terus menguatkan langkah saya.
Setelah sampai di tempat kerja ayah, saya menunggu hingga dia selesai bekerja. Selama waktu menunggu itu, saya seringkali duduk sendiri di sudut ruangan, melihat orang-orang berlalu lalang, dan membayangkan bagaimana kehidupan mereka. Banyak yang tampak bahagia, tetapi saya merasa terasing. Terkadang, ada rasa cemburu menggelayuti hati saya saat melihat teman-teman sekelas di SD Negeri 1 bercerita tentang pengalaman mereka di sekolah, tentang acara ulang tahun, dan kegiatan-kegiatan seru yang mereka jalani. Saya hanya bisa tersenyum, tetapi di dalam hati, rasa sakit itu terus bergejolak.
Tinggal di rumah bibi Va dan om Apri tidak semudah yang saya harapkan. Saya merindukan kehangatan rumah orang tua saya, dan yang lebih menyedihkan, saya merasa menjadi beban bagi mereka. Saya merasa bersalah ketika harus meminta bantuan untuk terapi tangan saya. Saat tangan saya terluka, saya merasa tidak berdaya. Untuk menambah parah, saya tidak ingin menyusahkan bibi Va dan om Apri, tetapi mereka tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk saya.
Satu malam, ketika saya sedang berusaha tidur, bibi Va masuk ke kamar dan duduk di samping saya. “Andhika, jangan merasa seperti beban. Kami sayang kamu,” katanya lembut. Mendengar kata-kata itu, air mata saya tak tertahan. Saya ingin sekali mengungkapkan betapa saya berjuang untuk tidak merasa seperti penghalang bagi mereka, tetapi kata-kata itu terjebak di tenggorokan. Hanya bisa terdiam dan mengangguk, saya berharap bisa membalas kasih sayang mereka suatu hari nanti.
Seminggu berlalu tanpa ada perubahan besar. Hasil sekolah saya kembali menurun. Tanpa bimbingan les, saya tidak bisa mengimbangi pelajaran. Rasa putus asa mulai menggerogoti semangat saya. Setiap kali melihat nilai ujian, saya merasakan keputusasaan yang mendalam. Terkadang saya berpikir, apakah semua ini layak? Apakah cita-cita saya terlalu tinggi untuk dicapai? Namun, entah dari mana, saya teringat akan wajah ibu yang selalu berdoa untuk saya. Itu membuat saya kembali bersemangat.