Bertahan di tengah langkah

Andhika Tulus Pratama
Chapter #7

Bab 7: Menghadapi Ujian

Waktu berlalu cepat, dan tak terasa ujian akhir tahun semakin dekat. Hari-hari di SD Negeri 1 terasa semakin menegangkan. Riko dan saya merasa beban di pundak kami semakin berat. Persiapan ujian tidak hanya menguras pikiran, tetapi juga energi kami. Namun, di balik semua tekanan itu, ada harapan dan semangat untuk meraih masa depan yang lebih baik.


Setiap pagi, saya bangun lebih awal dari biasanya. Saya tidak hanya ingin belajar, tetapi juga ingin memastikan bahwa saya siap menghadapi ujian dengan sebaik-baiknya. Riko, yang selalu menjadi teman setia, berjanji untuk belajar bersama. Kami mengatur jadwal belajar yang ketat, berusaha saling memotivasi untuk tidak menyerah.


Kami sering bertemu di taman dekat sekolah, membawa buku pelajaran dan catatan. Di sana, kami duduk di bawah pohon besar, dikelilingi oleh suara burung berkicau. Saya ingat saat kami mengulang pelajaran matematika. Riko, yang pandai dalam pelajaran itu, dengan sabar menjelaskan setiap rumus dan cara penyelesaiannya. Dia selalu bisa membuat materi yang sulit menjadi lebih mudah dipahami.


“Ayo, Andhika! Kita bisa lakukan ini. Coba satu lagi, ya?” Riko mendorong saya ketika saya merasa frustrasi.


Suasana belajar kami kadang diwarnai dengan tawa dan canda. Riko selalu bisa membuat saya tersenyum meskipun dalam situasi yang sulit. Kami saling berbagi strategi belajar, bertukar buku, dan terkadang berdebat tentang jawaban yang benar. Momen-momen itu membuat saya merasa tidak sendirian, dan perlahan-lahan rasa cemas mulai menghilang.


Namun, di tengah persiapan, bayangan bully yang mengintai dari belakang membuat saya merasa tidak nyaman. Saya ingat saat di SD 85, rasa sakit dan luka yang ditimbulkan oleh ejekan dan bully masih terbayang. Meskipun saya sudah berusaha untuk melupakan, terkadang kenangan itu kembali menghantui. Saya bertanya-tanya, apakah mereka akan kembali menghampiri saya jika saya gagal?


Menjelang hari ujian, kami memutuskan untuk melakukan satu sesi belajar terakhir di rumah Riko. Ketika saya sampai di rumahnya, saya disambut dengan aroma kue yang sedang dipanggang ibunya. “Selamat datang, Andhika! Mau makan kue?” ibunya menawarkan sambil tersenyum.

Lihat selengkapnya