Kembali ke rutinitas sekolah setelah malam camping yang penuh kesan, aku merasakan energi positif mengalir dalam diriku. Hari-hari pertama di SMA semakin memberi warna dalam hidupku. Meski begitu, ketidakpastian masih mengintai. Setiap hari aku berusaha untuk tidak membiarkan rasa cemas dan ketakutan mengganggu langkahku.
Satu minggu setelah camping, kami mulai belajar materi baru. Di kelas matematika, aku merasa sedikit terintimidasi dengan pelajaran yang lebih sulit dibandingkan di SMP. Tugas-tugas baru mulai menumpuk, dan meskipun aku berusaha sebaik mungkin, kadang-kadang aku merasa kewalahan.
“Coba kita belajar bersama nanti sore di perpustakaan,” usul Rian ketika kami berkumpul di kantin untuk makan siang.
“Bagus! Aku butuh bantuan, terutama untuk pelajaran ini,” jawabku.
Setelah sekolah berakhir, kami berkumpul di perpustakaan. Suasana tenang di dalamnya memberi ruang bagi kami untuk berkonsentrasi. Rian memimpin pembelajaran, menjelaskan beberapa konsep yang sulit. Liana dan Bella mendengarkan dengan penuh perhatian.
Setelah beberapa saat, aku mulai mengerti materi yang sebelumnya sulit. “Oh, jadi begini caranya!” seruku, merasa lega. “Terima kasih, Rian. Kamu benar-benar membantu.”
Sesi belajar itu berlanjut dengan penuh semangat, dan kami semua saling mendukung. Kami menghabiskan waktu di perpustakaan hingga larut sore. Ketika akhirnya pulang, aku merasa lebih percaya diri menghadapi tugas-tugas yang akan datang.
Namun, seiring dengan meningkatnya beban belajar, ada juga hal-hal yang membuatku khawatir. Bullying yang pernah aku alami di masa lalu terus menghantuiku. Meskipun di SMA ini aku merasa lebih diterima, rasa takut akan kemungkinan itu selalu ada di benakku.
Suatu hari, saat aku berjalan di lorong sekolah, aku mendengar bisikan di belakangku. Beberapa siswa terlihat tertawa dan saling berbisik. Hatiku berdebar, dan aku merasakan kegelisahan. “Apa mereka membicarakanku?” pikirku, berusaha untuk tidak terpengaruh.