Hari-hari setelah pelatihan TNI terasa sangat menantang. Saya kembali ke rutinitas sehari-hari, namun dengan semangat baru dan harapan yang lebih besar. Setiap langkah terasa lebih berarti, dan saya merasakan kedewasaan yang tumbuh dalam diri saya. Namun, di balik semua pencapaian ini, ada pertarungan yang tidak terlihat, pertarungan yang terjadi dalam diri saya sendiri.
Meskipun pelatihan sudah berakhir, rasa sakit akibat varises kembali menyerang. Saya mulai merasa khawatir akan kondisi fisik saya. Ketika melihat teman-teman pelatihan saya yang tampak bugar dan penuh semangat, saya merasa inferior. Rasa cemas ini terus menghantui saya. Bagaimana jika saya tidak bisa mengikuti ujian selanjutnya? Bagaimana jika semua usaha dan pengorbanan saya sia-sia karena kondisi fisik yang membatasi?
Satu sore, saya duduk di ruang tamu, memandangi langit yang mulai gelap. Pikiran-pikiran ini terus berputar di dalam kepala saya, dan saya tidak tahu harus berbagi dengan siapa. Rasa kesepian mulai menyergap. Saya berusaha mengalihkan perhatian dengan bermain gadget atau menonton televisi, tetapi semua itu tidak bisa menghilangkan rasa gelisah di hati. Saya butuh seseorang untuk berbicara.
Tanpa sadar, saya membuka pesan di ponsel dan menghubungi Alicia. Sudah lama kami tidak berkomunikasi setelah kami berpisah. Dalam beberapa detik, pesan terkirim. “Hai, Alicia. Bagaimana kabarmu?” Saya menunggu balasan dengan rasa cemas. Apakah dia masih mau mendengarkan saya?
Tak lama kemudian, pesan dari Alicia muncul. “Hai, Andhika! Aku baik-baik saja. Apa kabar?” Membaca pesannya membuat hati saya bergetar. Ada kelegaan saat mengetahui bahwa dia masih ingat saya. Kami mulai bercakap-cakap, dan rasa nyaman kembali hadir. Alicia selalu memiliki kemampuan untuk mendengarkan dan memberi saran yang bijak. Dia adalah teman yang bisa membuat saya merasa lebih baik.
Selama percakapan itu, saya menceritakan semua keraguan dan kekhawatiran yang saya rasakan. “Aku merasa terjebak, Alicia. Aku ingin melanjutkan impian ini, tetapi kondisi fisikku terus menjadi penghalang. Bagaimana jika aku gagal?” Suara saya bergetar, dan air mata mulai menggenang di sudut mata.