Bertahan di tengah langkah

Andhika Tulus Pratama
Chapter #29

Bab 29: Detik-Detik Pengakuan

Berbulan-bulan aku menyimpan rasa ini. Semenjak pertemuan tak terduga dengan Alicia yang baru, setiap hariku terasa lebih hidup. Tapi ada satu hal yang selalu membuatku ragu bagaimana kalau ia tidak merasakan hal yang sama? Bagaimana kalau perasaanku hanya sepihak?


Sore itu, kami duduk di bangku taman, berdua dalam keheningan yang terasa begitu penuh makna. Aku bisa mendengar deru napas Alicia di sebelahku, sesuatu yang membuatku sadar akan kedekatan kami saat ini. Aku mengumpulkan keberanian dalam hatiku, mengingat momen-momen yang telah kami lewati, baik yang dulu di SMA maupun sekarang. Rasanya, sudah cukup lama aku menunggu kesempatan ini. Namun, saat momen itu benar-benar ada di hadapanku, keberanianku seolah hilang begitu saja.


Jantungku berdegup kencang. Rasa gugup menguasai pikiranku, dan semua rencana yang sebelumnya sudah kususun dalam kepalaku seketika buyar. Namun, saat itu aku tahu: inilah waktunya, jika tidak sekarang, aku mungkin takkan pernah punya kesempatan lagi. Dengan mengumpulkan segala kekuatan yang tersisa, aku menoleh ke arah Alicia, yang sedang menikmati senja di kejauhan.


"Aku harus jujur tentang sesuatu," kataku akhirnya, dengan suara yang sedikit bergetar.


Alicia memandangku, sedikit terkejut namun penuh perhatian. "Tentang apa?" tanyanya lembut, membuatku merasa bahwa ia benar-benar ingin mendengar apa yang hendak kuungkapkan.


Sekarang atau tidak sama sekali, pikirku, berusaha menenangkan debar jantungku yang tak terkendali. Aku menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Aku menyukaimu, Alicia. Sejak SMA. Meskipun kita terpisah bertahun-tahun, perasaan itu tidak pernah benar-benar hilang."


Setelah kata-kata itu keluar, aku merasa seperti beban besar telah terangkat dari dadaku. Namun, perasaan tenang itu segera disusul oleh ketegangan baru, menunggu bagaimana reaksinya. Wajahnya tampak terkejut, dan untuk sesaat aku tidak bisa menebak apa yang ada di pikirannya. Ketakutan bahwa ia mungkin akan menolak atau bahkan merasa tidak nyaman kembali menghantui, seperti bayangan masa lalu yang dulu pernah kurasakan.


Tapi yang terjadi berikutnya benar-benar di luar dugaanku. Alih-alih menolak atau menghindar, Alicia justru tersenyum. Senyum itu tumbuh perlahan di wajahnya, hangat dan penuh arti. Dia menatapku dengan tatapan yang dalam, membuatku merasa seolah-olah waktu berhenti sejenak.


"Aku tidak menyangka kamu akan mengatakannya," ucapnya dengan suara pelan, tetapi tegas. "Aku pun pernah merasakan hal yang sama."


Lihat selengkapnya