Malam itu, setelah pertemuan yang menyakitkan dengan Alicia dan cowok baru yang mengisi hidupnya, aku kembali ke rumah dengan hati yang hancur. Setiap langkah yang kuambil terasa berat, seolah aku sedang membawa beban yang tak tertahankan. Semua tawa dan kebahagiaan yang sebelumnya menyelimuti kehidupanku kini sirna, tergantikan oleh rasa sakit yang menggerogoti jiwa. Aku duduk di tepi ranjangku, menatap kosong ke arah dinding, terjebak dalam pikiran yang tak kunjung reda.
Bayangan wajah Alicia terus menghantui pikiranku. Senyumnya yang ceria, tawa yang menggembirakan, dan setiap momen indah yang kami lalui bersama terasa seperti ilusi. Kini, semua itu hanya menyisakan luka yang dalam. Perasaanku terhadap cinta semakin kabur, dan keraguan menyelimuti pikiranku. Apa benar cinta sejati itu ada? Atau semua yang kuanggap cinta hanyalah sekadar permainan hati yang berakhir dengan luka?
Sejenak, aku mencoba mengalihkan perhatian dengan menyalakan televisi, namun gambar-gambar di layar tidak berarti. Suara riuh yang keluar dari speaker hanya menambah kebisingan dalam pikiranku. Kuputuskan untuk mematikan televisi dan kembali pada keheningan malam. Dalam kesunyian itu, aku mulai mengingat kembali perjalanan cintaku, dari awal aku mengenal Alicia hingga saat ini. Setiap detail terasa jelas di benakku, seolah aku sedang menonton film tentang kehidupan yang penuh dengan harapan dan impian.
Selama ini, aku menganggap cinta itu suci dan kuat. Namun, peristiwa hari ini telah mengubah pandanganku. Kini, aku merasa bahwa cinta yang kuharapkan hanyalah sebuah harapan kosong. Aku mulai merenung, mengingat semua cinta yang pernah kutemui. Cinta yang ditawarkan oleh sahabat, cinta yang kuharapkan dari Alicia, dan cinta yang tulus dari keluargaku. Dalam gelap malam, aku menyadari satu hal: cinta sejati hanya ada dalam bentuk cinta orang tua dan keluarga.
Dengan pelan, aku teringat momen-momen berharga yang kuhabiskan bersama keluarga. Ada satu kenangan ketika aku masih kecil, saat ulang tahun ibuku. Keluargaku berkumpul untuk merayakan dengan sederhana. Kami membuat kue bersama, meskipun hasilnya tidak sempurna. Namun, senyum di wajah ibuku adalah hadiah terbaik yang bisa kami berikan. Saat itu, aku merasakan cinta yang tulus, bukan hanya dari ibuku, tetapi dari seluruh anggota keluarga. Kebersamaan itu memberi makna pada hidupku, jauh lebih dalam daripada cinta yang kutemukan di luar sana.
Setiap kali aku mengingat kenangan bersama nenekku, rasa rindu semakin menyakitkan. Sosoknya selalu ada untukku, memberikan nasihat bijak dan mendengarkan keluh kesahku. Dalam ingatanku, aku bisa melihat senyum hangatnya ketika aku bercerita tentang harapan dan impianku. Kasih sayangnya adalah pelajaran berharga tentang cinta sejati. Tidak peduli seberapa sulit hidup ini, nenek selalu mengingatkanku bahwa cinta tidak akan pernah mengecewakan jika datang dari hati yang tulus.