Februari 1998
"Rendangmu gosong!"
Suara cempreng Sri memenuhi dapur. Wajahnya memelas ketika melihat nasib rendang di atas kuali. Sejak awal, Sekar berharap menghasilkan rendang seperti yang pernah disantapnya di rumah makan Padang. Alhasil, yang terjadi justru sebaliknya. Rendang itu menghitam dan menciptakan kerak di atas kuali--yang bisa saja membuat si kuali berumur pendek.
"Kok bisa?" tanya Sekar tidak percaya.
"Kupikir ini akibat dari kita bergunjing tentang Siti. Habis dia membuatku tidak bisa mengerem mulut," ketus Sri.
Sekar tertawa, "Apa hubungannya dengan gosongnya semangkuk rendang?"
"Kita lalai, Kar. Jadinya, rendangmu gosong, tho?"
"Kalau begitu, mari berhenti bergunjing. Hidup sendiri saja sudah susah, Sri," kata Sekar seraya membereskan bencana pagi itu. Wanita itu mengambil sepotong rendang gosong, kemudian menciumnya. Aroma gosong tetap saja sama. Hilang sudah aroma rempah yang ia masukkan ke dalamnya.
"Menurutmu, si Siti--"
Sekar memelototi Sri sebelum kata-kata selanjutnya meluncur dari mulut perempuan itu. "Hari mulai siang, Sri. Kamu tidak sebaiknya pulang saja? Apakah kamu sudah memasak untuk Hendra hari ini?"
Bibir Sri langsung saja manyun. "Tadinya aku berharap bisa membawa sedikit rendang yang kaumasak untuk jatah makan siang Mas Hendra. Tapi sudah kepalang gosong, terpaksa aku harus memasak menu lain. Kau tahu kan? Aku paling malas soal urusan memasak."
Sekar geleng-gelang kepala mendengar curhatan Sri. "Sri, ingat ya? Sekarang kamu bukan lagi seorang gadis belia yang berlari tanpa malu di atas pematang. Masa ketika kita berenang bebas di empang Pakde Marso, sudah berlalu. Kau seorang istri sekarang," tegas Sekar. Matanya menatap Sri, serius.
"Tahu begini, aku tidak akan buru-buru nikah, Kar!"
"Kamu mau jadi buah bibir tetanggamu saat pulang kerja agak larut? Atau ditanyai hal yang sama terus-terusan bila ada pertemuan keluarga? Saat ini siapa sih yang mau sama kita kalau sedikit saja lebih tua, Sri?"
Sri tidak tersinggung, perempuan itu justru tertawa dengan riangnya. "Tidak ada salahnya menjadi tua atau memilih sendiri jika hidupmu bahagia, Kar."
"Aku tidak mengerti dengan cara berpikirmu, Sri. Tapi kadang-kadang ada benarnya juga. Yowes, pulang sana. Jadilah istri yang baik. Saat menikah, kau telah memilih jalanmu sebagai seorang yang harus mengurus keluargamu sendiri. Kamu kudu berbakti," kata Sekar.
"Susah dijelasin sama kamu, Kar," ucap Sri seraya berlalu. Menit selanjutnya, derit suara pintu terdengar nyaring dalam indera pendengaran Sekar.