9 Mei 1998
Sebuah plank merek bertuliskan "Toko Hartanto" menempel di sisi kanan bangunan, suasana toko masih tampak lengang pada pukul sepuluh pagi itu. Seorang lelaki usia empat puluh lima tahun terlihat sibuk merapikan barang dagangan. Meski berbadan sedikit bongsor, lelaki itu begitu lihai melakukan pekerjaannya.
"Asoy berapa sebungkus, Koh?"
Lelaki itu menatap pelanggannya sembari tersenyum. Satu hal yang membuat pelanggan nyaman datang ke Toko Hartanto adalah keramahan pemiliknya. Tiga jurus jitu yang selalu diterapkan oleh pria itu di toko adalah senyum, sapa, sahabat. Ketika seseorang datang, ia selalu berusaha mencairkan suasana dengan senyumnya yang hangat. Saat pelanggan memulai interaksi, sapaan adalah hal pertama yang akan dilakukan. Dan tidak mustahil, setelah meninggalkan toko, pembeli yang datang hari itu akan datang lagi dan menjadikan Hartanto sebagai sahabat baru.
"Harga barang-barang sedang melonjak tinggi, Bu! Krisis moneter memang merusak banyak aspek, terutama perekonomian," jelas Hartanto. Lelaki itu kemudian mengatakan harga dari asoy yang tadi ditanyakan oleh pembeli itu.
Sementara itu, sang pembeli hanya menggelengkan kepala. Ia sedikit paham dengan apa yang dibicarakan Hartanto. "Kalau sampai bahan-bahan terus naik, artinya bisa saja warung baksoku gulung tikar ya, Koh?"
Hartanto tertawa, seolah-olah ucapan pembeli asoy itu adalah semacam guyonan renyah yang baru didengarnya. "Semua kita yang sedang berusaha, tidak pernah berharap demikian, Bu. Berdoa saja yang baik-baik, ya?"
Perempuan itu tersenyum lega setelah membayar barang belanjanya dan pergi meninggalkan toko setelah itu.
Hartanto tiba-tiba terkejut saat melihat putrinya muncul di depan pintu.
Gadis manis itu bernama Niken. Putri satu-satunya Hartanto. Kulit Niken putih bersih, mirip seperti mendiang ibunya. Sementara bentuk wajah dan mata didominasi oleh Hartanto--oriental kental.
"Kamu tidak sekolah hari ini? Atau kamu sedang tidak enak badan?"
"Sekolah libur, Pa. Beberapa jalan kota ditutup."
Hartanto mendelik. Pria itu menghentikan aktivitasnya dan berjalan ke arah Niken. "Sampai kapan?"
"Belum tahu. Menunggu pengumuman dari guru aja, Pa!"
Ada kecemasan yang muncul di wajah Hartanto. Ini lebih kepada perlindungan seorang ayah kepada anaknya. Dia tidak bisa menebak apa yang sedang terjadi di luar sana, dan dia juga tidak tahu seberapa besar imbas yang akan mereka terima jika hal itu terjadi.
"Aku melihat berita di televisi," ungkap Niken.
Wajah Hartanto berubah seketika. Dia tidak ingin Niken melihat dan tahu lebih banyak lagi.
Hartanto seolah dilempar kembali ke dunia nyata. "Jangan terlalu sering duduk di depan televisi. Bisa bantu papa antar pesanan Bu Sadika?" tanya Hartanto disertai mimik ragu. Melihat kejadian di televisi membuatnya berpikir waspada. Bisa saja efek dari kerusuhan itu sampai ke dekat ruko mereka. Dan Niken adalah satu-satunya orang yang harus dilindunginya. Sejujurnya, ada kecemasan yang ia emban ketika meminta bantuan putrinya.
Mengingat jarak antara toko dengan rumah Bu Sadika yang cukup jauh, Hartanto khawatir ada yang kemudian mengganggu putrinya. Dan lagi-lagi kemiripan wajahnya dengan Niken manjadi ketakutan terbesarnya.
Niken mengangguk. Menit berikutnya, ia telah berlalu dari hadapan Hartanto. Mata Hartanto mengawasinya, bahkan setelah tubuh mungil putrinya menghilang di ujung jalan. Hartanto merasa jantungnya tengah berdegup cepat.