Maret 1998
"Nih, aku memilihkan kemeja yang pas untuk Mas pakai hari ini," kata Sekar.
Sebuah kemeja berwarna putih dengan warna yang hampir memudar. Pada bagian kerah, ada warna kuning mencolok, namun tidak begitu merusak pandangan. Dan ujung lengan yang sedikit terkoyak. Yang sempurna hanyalah dua kantung di sebelah kiri dan kanan. Keduanya masih terlihat gagah meski sering kosong melompong.
Bisma tertawa. "Istriku payah. Mengapa harus yang ini, tho?"
Sekar duduk di sebelah Bisma. "Maaf yo, Mas! Dari sekian banyak kemeja kerja yang Mas punya, aku sangat menyukai ini. Mas Bisma masih ingat enggak ketika wawancara kerja pertama kali?" kenang Sekar.
Satu tahun sebelum Bisma dan Sekar menikah, panggilan kerja datang menghampiri.
"Ini rezekimu, Dik!"
"Rezekimu, Mas!" ucap Sekar.
"Rezeki kita kalau begitu. Mas berharap bisa segera menabung dan secepatnya melamarmu," harap Bisma seraya menggenggam kedua jemari Sekar.
"Itu sudah lama, Dik!" kata Bisma seraya tertawa. Terkadang dia heran dengan daya ingat istrinya. Perempuan itu adalah sosok yang jago dalam hal mengingat. Bukan hanya hal besar, namun hal-hal kecil juga pasti diingatnya. Dan ia lebih mencintai perayaan sederhana untuk sesuatu yang layak mereka ingat.
Di depan pintu, Bisma berdiri. Wajahnya lekat menatap Sekar. Lelaki itu telah rapi dan bersiap berangkat kerja.
"Aku berangkat dulu, ya? Jangan terlalu capai. Sebenarnya aku bisa membantumu mengurus rumah," ucap Bisma.
Sekar tersenyum. "Aku tidak lelah, Mas. Itu hanya perkejaan biasa. Semua orang juga bisa melakukannya," kata Sekar.
"Kamu memang keras kepala," kata Bisma seraya mengecup kening istrinya.
Sepeninggalan Bisma, Sekar langsung saja menutup pintu. Saat berbalik, pekerjaan rumah kembali memenuhi otaknya. Wajahnya tersenyum. Hari-hari yang dilaluinya begitu menyenangkan.
***
Malam turun begitu memburu, Sekar tampak was-was menunggu kepulangan Bisma. Ini adalah kali pertama Bisma pulang terlambat mengingat jam lembur di kantornya biasa terjadi di akhir bulan.
Sekar mengamati menu di atas meja. Asap yang sedari tadi mengepul di atas makanan itu, sirna tertelan dingin.
Jam dinding menunjukkan pukul 22:00 namun Bisma tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
Sekar terlihat semakin cemas. Perempuan itu berjalan ke arah pintu setelah menunggu cukup lama. Di saat yang bersamaan Bisma muncul di balik pintu.
"Lembur, Mas?"
Bisma menatap Sekar, wajahnya terlihat lelah. "Tidak, Dik."
"Aku masak air untuk mandi ya, Mas?" tanya Sekar lagi.
Bisma mengangguk dan pergi ke kamar tanpa menoleh lagi. Sementara itu, Sekar bergegas menuju dapur dan bersiap menjerang air.
Suara air terdengar nyaring dari kamar mandi. Sementara Bisma membersihkan diri, Sekar menunggu dengan cemas di meja makan.
Sesuatu yang diharapkan Sekar tidak mewujudnyata ketika Bisma begitu khidmat melahap makanannya. Suasana di antara mereka masih hening. Parade sunyi di meja makan adalah situasi yang begitu canggung. Di sudut lain, suara radio memecah hening, seorang pembaca berita mengabarkan jika rezim sebelumnya kembali menduduki singgasana kekuasaan tertinggi di negara ini.