BERTAUT

Firda Aini
Chapter #4

Naraya Maharani (2)

Sejak kejadian hari itu, Baskara dan Naraya semakin dekat. Bahkan sekarang Baskara mulai menghantar jemput Naraya, walaupun rumah mereka berbeda arah. Hubungan mereka pun sudah bisa dikatakan sedikit lebih serius. Naraya yang sudah sangat akrab dengan Aurora, bahkan mereka berdua bisa menjadi teman dekat, atau bahkan sahabat. Sedangkan Baskara, dia sudah sangat dekat dengan Papah nya Naraya. Ada kala nya Baskara main kerumah Naraya, Baskara selalu diajak oleh Papah dari perempuan nya itu untuk memancing, padahal sejak awal Baskara sudah janji untuk me time bersama Naraya. Dasar laki-laki, kalau sudah bertemu dengan teman satu frekuensi nya pasti selalu lupa akan waktunya. Kadang kala, Aurora selalu memperhatikan gelagat yang sudah sangat berbeda dari abangnya itupun merasa senang. Selama ia tinggal dengan ayah dan abangnya, tak pernah sekalipun Aurora melihat raut bahagia dari wajah abangnya itu. Bahkan sebelumnya, ia hanya bisa melihat raut sedih dan keputusasaan yang terlihat dari raut wajah abangnya. Ia sangat berterima kasih kepada Naraya yang berhasil mengambil alih seluruh dunia abangnya yang gelap menjadi lebih berwarna.

"Adek, abang mana? ayah mau ngobrol sama kalian berdua." Aurora yang sedang membaca novel pun langsung mengalihkan pandangannya untuk melihat sekeliling ruangan untuk mencari sosok abangnya itu. Rasanya tadi ia bersama abangnya duduk bareng di sofa ini. "Kayaknya ada di kamer nya, tadi sempet ada disini sama adek. Sebentar adek panggil dulu abangnya." Aurora bergegas pergi ke kamar abangnya. Ia tampak berfikir, untuk apa ayah nya mengajak mereka untuk berbicara bersama? sangat jarang sekali. Semenjak ayahnya itu sudah kembali ke pangkat pekerjaannya sebagai Jendral, Aurora dan Baskara sudah sangat jarang melihat ayahnya ada dirumah, atau bahkan bisa libur dirumah. Ntahlah, sesibuk apa ayah diluar sana, tapi semoga hal baik yang selalu dia lakukan.

"Ada apa yah?" suara Baskara yang pertama kali menyapa ayah di ruangan keluarga itu.

"Minggu depan ayah nikah, kalian datang dan ini undangannya. Ayah gaakan lama disini karena ayah masih ada urusan yang harus dikerjakan." tanpa menunggu anak-anak nya menjawab, ayah pergi meninggalkan ruangan itu. Tanpa sadar, Baskara sudah mengepalkan tangannnya begitu kuat. Ia sangat benci situasi seperti ini, tidak ada kabar dan persetujuan, tetapi ayah dengan entengnya mengeluarkan undangan pernikahan. Baskara pergi kembali ke kamar nya dengan perasaan marah, ia tak bisa menerima keputusan yang mendadak ini. Baskara takut, takut jika kejadian bertahun-tahun lalu kembali. Aurora yang melihat perubahan sikap dari abangnya itupun paham. Dirinya sangat kecewa, tetapi abangnya lebih kecewa dari dirinya.

⌛⌛⌛

"Kalau butuh apa-apa bilang aku ya." ucap Baskara kepada Naraya yang sedang terbaring di kasur rumah sakit sejak empat hari yang lalu. Sejak beberapa hari yang lalu pun, kondisi Naraya tidak baik tetapi dirinya memaksakan untuk selalu sehat karena takut jika merepotkan Baskara.

Naraya hanya mengangguk setelah mendengar kalimat dari Baskara. Dia sangat takut sekarang, dia ingin jujur dengan laki-laki di hadapannya, tapi dirinya belum bisa. Suara telfon berdering menggema diruangan, terpampang jelas nama Aurora di handphone Baskara. Baskara melirik ke perempuan yang kini sedang melihat dirinya untuk meminta izin menjawab telfon. Hanya anggukan yang bisa Naraya berikan, dan itu lebih dari cukup untuk bisa menjawab pertanyaan Baskara.

"Bang, jangan lupa buat dateng ke pernikahan ayah hari ini. Gue tau lu gabisa, tapi datang karena gue bang. Disini gue gaada siapa-siapa, terlalu sakit buat ngeliat nya sendirian. Sebentar lagi acaranya mulai, setelah selesai lu bisa langsung pulang begitupun dengan gue."

Belum sempat menjawab, telfon dari Aurora itupun terputus. Baskara bingung, ia ingin datang kesana untuk menemani adiknya, tetapi disini ada Naraya yang harus ia jaga. Setelah lama sekali Baskara memikirkan keputusannya ini, ia kembali masuk keruangan untuk pamit kepada Naraya. Ia berjanji kepada Naraya bahwa dirinya tidak akan lama meninggalkan nya.

Setibanya di tempat acara, Baskara dapat melihat banyak sekali orang yang berdatangan untuk menghadiri acara yang sebentar lagi dimulai. Ia tak memperdulikan panggilan dari banyaknya tamu yang mengenalinya, dirinya sekarang hanya mencari keberadaan dari Aurora. Setelah lama memutari gedung besar itu, orang yang sedang dicarinya pun ketemu. Aurora yang sedang berdiri di pojok ruangan bersama seorang lelaki. Setibanya di depan Aurora, dirinya pun dapat melihat ekspresi adiknya itu yang menyuruhnya untuk menyapa lelaki yang berada di sampinya.

"Gue Baskara," ucap nya sambil memberikan tangannya untuk dijabat

"Skala." jawab laki-laki itu dengan acuh mengabaikan tangan Baskara yang sedari tadi masih bertengger di depan. Baskara yang mendapatkan perlakuan yang tak enak pun langsung menurunkan tanganya.

Acara akad nikah pun dimulai, Baskara hanya menatapnya dengan perasaan yang campur aduk. Marah, kecewa, sedih, dan masih banyak lagi perasaan lainnya yang tidak bisa dilihatkan secara bersamaan. Begitupun dengan Aurora, dia hanya bisa tersenyum tipis melihat ayah nya yang kini sedang mengucapkan kalimat sakral. Dapat ia lihat raut ayahnya yang begitu sangat bahagia, walaupun Aurora tidak tumbuh besar sejak bayi bersama ayahnya. Tapi, selayaknya anak perempuan lain. Ayah tetap cinta pertamanya, dirinya sangat cukup untuk merasakan cinta dari seorang ayah.

Acara akad nikah berjalan dengan baik, Baskara ingin sekali beranjak dari tempat ini. Perasaan dirinya mulai tidak enak, atensi hati nya selalu mengarah kepada perempuan yang kini sedang berada dirumah sakit itu. Baskara merogoh saku celananya mencari handphone , dirinya ingin menelfon Naraya untuk menanyakan keadaan nya sekarang. Tapi nihil, hanphone yang awalnya ia taruh di saku celana kini tidak ada. Aurora yang melihat gelagat aneh dari abangnya pun langsung menghampirinya.

Lihat selengkapnya