Kadang hal yang diharapkan selalu saja berbenturan dengan kenyataan. Kebanyakan orang menganggapnya sebagai takdir. Di situlah perasaan bermakna, salah satunya adalah cinta. Sudah tiga hari lamanya ia tidak melihat perempuan itu muncul disekitar atensi nya, sedikit membuat resah pikirannya.
Baskara masih mengingat hari itu dengan jelas—hujan turun deras, menciptakan simfoni rintik-rintik di atas jalanan. Udara dingin menyelusup ke kulitnya, tapi entah kenapa, di dalam dadanya justru terasa hangat. Dia yang berdiri di seberang jalan dengan tab di tangannya, menatap langit seolah berbicara dengan hujan. Rambutnya yang sedikit basah, senyum kecil yang tersungging di sudut bibirnya, cara dia merentangkan tangannya seakan ingin merasakan setiap tetes hujan yang jatuh—semua itu membuat sesuatu dalam diri Baskara bergetar.
Tapi perasaan apakah ini? cinta? atau hanya kekaguman sesaat?
Baskara tidak pernah benar-benar meamahami perasaannya. Setiap kali ia tidak sengaja bertemu, atau lebih tepat nya hanya Baskara yang melihat kehadiran perempuan itu di atensinya, ada sesuatu yang tumbuh dalam dirinya—sesuatu yang belum berani ia namai. Tapi disisi lain, ia takut. Takut jika dirinya belum bisa berdamai dengan dirinya dan masalalu nya, atau perasaan yang hanya akan menjadi bias dan bisa saja menghilang seiring waktu yang berjalan.
Dia ingin bertanya pada dirinya sendiri—sejak kapan dia mulai menunggu setiap pertemuan? dan sejak kapan, setiap kali hujan turun , bayangannya yang pertama kali muncul di kepala?
"Baskara, saya minta tolong liatin dokumen ini ya, saya mau keluar dulu. Kamu kalau ada apa-apa bisa kabarin saya." ucap Pak Bambang yang sedang sibuk mondar-mandir ntah apa yang ia cari. Merasa ucapannya tak kunjung dijawab, Pak Bambang menoleh kearah Baskara yang sedari tadi hanya diam tak bergeming memandangi keluar jendela.
"Bas? kamu dengar gak saya bilang apa tadi?"
"Baskara?"
Pak Bambang yang sudah sedikit merasa kesal akhirnya melempar kotak kecil yang berada di hadapannya kearah Baskara. Kotak kecil itu melayang di udara sebelum akhirnya mendarat tapat di kepala Baskara.
"Aduh!" Baskara tersentak, tangannya buru-buru mengusap kepalanya sambil melirik tajam ke arah Pak Bambang.
"Pak! kenapa tiba-tiba saya di lempar kotak? kalau ada masalah kan bisa diomongin baik-baik pak." katanya dengan nada yang sedikit kesal. Namun, alih-alih merasa bersalah, Pak Bambang malah menyilangkan tangan di dada nya sambil mengangkat sebelah alisnya.
"Oh, jadi kamu bisa ngomong ya? saya kira kamu udah jadi patung di depan jendela itu."
Baskara mengerjap beberapa kali, baru sadar jika ia sudah terlalu lama berdiam di depan jendela.
"Eh iya pak, maaf tadi saya kira bapak bukan ngajak ngobrol saya." ucapnya sambil cengengesan, berusaha beralibi agar tidak terlalu malu dilihatnya.
"Disini saya tinggal sama kamu doang Baskara, kalo nyari alesan toh yang bagus dikit gitu. Memangnya kamu bengongin apa pagi-pagi begini, kaya presiden yang mikirin utang negara aja kamu."
Baskara tertawa kecil, lalu menggeleng. "Bukan apa, Pak. Tapi kalau saya cerita, takut bapak malah bikin pengen ngelempar saya pakai barang yang lebih besar." ujar Baskara dengan wajah serius tapi mata jenaka.
Pak Bambang hanya bisa menggeleng pasrah sambil menahan tawanya.