Pagi ini, Baskara berniat untuk jalan kecil keluar dari rumah yang setiap harinya selalu sepi. Dengan pakaian yang cukup sederhama dan jangan lupakan kamera Canon EOS R50 yang selalu ia bawa disetiap perjalanan ceritanya. Kamera itu bukan hanya alat, tapi semacam teman yang diam-diam menjadi saksi atas pikirannya yang sulit di deskripsikan. Ia melangkah ringan melewati gang di dekat tempat tinggalnya, menuju sebuah kafe sederhana yang baru-baru ini menarik perhatiannya.
Kafe itu mengusung tema interior klasik khas Bali—dindingnya dihiasi ukiran kayu tua, lampu gantung rotan menjutai di atas meja-meja kayu yang terlihat sudah lama tapi kokoh. Aroma kayu dan kopi yang bercampur, menciptakan suasana yang menenangkan. Sambil memesan kopi andalannya yaitu amricano no sugar, Baskara memilih duduk di dekat jendela, dimana cahaya pagi menyinari halaman kecil dengan pepohonan rimbun di luar.
Baskara menyalakan kameranya, mengatur settingan yang akan ia pakai untuk menangkap objek didepannya. Baru saja ia ingin memotret objek yang ada di depannya, seorang pria muda di meja sebelah menyapanya.
"Permisi kak, pake kamera Canon EOS ya? gue juga pakai itu buat dokumentasi tugas atau kegiatan di kampus." katanya sambil menunjukkan kamera mirrorless serupa. Percakapan pu mengalir, dan Baskara baru tahu kalau laki-laki yang sedang mengobrol dengannya adalah mahasiswa Unpad yang sedang berlibur di kota ini, mengisi waktu dengan hunting foto dan mengedit tugas di semesternya itu.
Mereka berdua ngobrol cukup akrab, banyak topik yang dibahas. Dimulai dari membahas kamera, tempat-tempat apa yang menarik untuk dijadikan liburan, hingga soal dunia fotografi yang mulai ramai lagi sejak media sosial jadi galeri virtual.
"Gue duluan ya kak, nanti kalau ada waktu kita ngobrol lagi." ucap laki-laki itu yang mulai beranjak dari duduknya.
"Aman." balas Baskara yang kini melihat laki-laki itu perlahan meninggalkan kafe.
Baskara kembali fokus dengan kegiatannya, menangkap objek yang sempurna bagi dia, dan memilah hasil yang buruk menurutnya. Tangannya sempat berhenti sejenak diatas trackpad, saat matanya menangkap sesuatu yang familiar di layar laptop meja depan. Seorang pengunjung yang sedang membuka galeri seni daring, dengan ilustrasi bergaya khas. Ia menoleh tanpa sadar, ada nama kecil yang tertulis di sudut gambar, "a.naya."
Kepalanya mengernyit, nama itu ntah kenapa terdengar dekat. Baskara mencoba untuk berpikir realistis, mungkin saja bukan dia orang nya. Sebelum sempat bepikir lebih jauh lagi, bel kecil diatas pintu kafe kembali berbunyi. Baskara reflek menoleh, matanya langsung tertuju pada sosok yang baru saja melangkah masuk. Rambut terikat yang sedikit berantakan, dan dipelukannya ada sebuah tablet yang sudah begitu lekat sebagai bagian dari dirinya—Anaya.
Langkah Anaya tenang, sedikit melambat seolah sedang menakar suasana kafe. Ia memilih duduk di bangku dekat dengan jendela kanan—tiga atau empat meja dari tempat Baskara berada. Cukup dekat untuk terlihat jelas, tapi cukup jauh untuk pura-pura tidak kenal. Untungnya, Anaya tidak melihatnya. Belum, setidaknya.
Baskara cepat-cepat memalingkan pandangannya. Punggungnya menegang, tangannya berhenti di atas kamera. Ia sempat menarik napas dalam, lalu menghelanya dengan perlahan. Seperti sedang menenangkan diri sebelum memutuskan untuk tetap diam, atau menyapa.
Baskara memilih diam.
Matanya kembali mencuri pandang. Melihat Anaya yang kini mulai membuka tabletnya, memulai coretan demi coretan, sesekali perempuan itu juga memutar kepalanya kearah jendela. Cahaya matahari pagi yang mulai menembus jendela yang ada di sampingnya, jatuh tepat di wajah Anaya, memantulkan rona hangat yang halus di kulitnya. Ada keheningan kecil yang nyaman di sekitar mereka, diisi suara mesin espresso dan denting sendok di cangkir.
Baskara meraih kameranya. Awalnya ragu, tapi jari-jarinya bergerak pelan, seperti tertarik oleh sesuatu yang sudah lama dikenalnya. Ia menurunkan kameranya dengan pelan dari meja, menyembunyikan gerakannya di balik tas kecilnya. Satu sudut pandang ia coba bidik Anaya yang tengah fokus dengan layarnya, rambut yag sedikit jatuh dari ikatannya, sinar matahari pagi yang memantul dari kaca jendela.
Satu jepretan.
Lalu, satu lagi.
Ia tidak tahu apa yang ia kejar—mungkin bukan sekedar cahaya atau komposisi. Tapi ada sesuatu dalam diam Anaya yang membuatnya ingin memotret. Bukan untuk karya, melainkan untuk mengingat. Anehnya, dari kejauhan seperti ini, ia merasa sedang mengenal Anaya dengan perlahan dan cara yang mngkin cukup berbeda.
Hampir tiga puluh menit lamanya Baskara mencoba untuk pura-pura menyembunyikan diri dari perempuan itu, bukan karena ia tidak bisa bertemu dan berpapasan dengannya. Tapi ntah kenapa rasanya sangat canggung bagi dirinya. Kepalanya selalu berisik untuk menyuruhnya segera perempuan itu, tetapi tidak dengan hatinya yang selalu bertolak belakang.
Baskara masih dengan pikirannya yang begitu rumit, sampai tidak menyadari bahwa perempuan yang selalu ia lihat sekarang sudah melihat dirinya. Dengan perasaan kaget bercampur dengan senang, Anaya menghampiri Baskara berniat untuk menyapanya.
"Baskara? sejak kapan disini?" sapa Anaya dengan keheranan.
Baskara tersentak begitu memanggil namanya. Ia sekuat tenaga menyingkirkan gugup dari wajahnya, lalu menoleh pelan, pura-pura baru sadar.