Hari baru datang tanpa gegas, membiarkan waktu mengalir perlahan seperti air di selokan kecil yang nyaris tak terdengar. Langit menggantungkan warna yang tak sepenuhnya biru, seakan masih ragu untuk cerah atau mendung. Suasana terasa tenang, hampir seperti jeda panjang yang di selipkan semesta di tengah kesibukan yang tak benar-benar usai. Kini, Anaya sedang mengemaskan barang yang sudah hampir selesai kedalam kopernya, menyisakan sedikit barang yang masih berantakan di lantai dengan tak beraturan. Waktu dirinya berada di Bali berasa berlalu dengan cepat, sampai rasanya kini ia ingin kabur dan melupakan jadwal keberangkatannya.
"Ayah, adek gamau pulang." ucap Anaya dengan nada yang lesu tetapi tangannya sibuk dengan barang yang sedang di kemasnya.
"Loh ayah mah ga nyuruh adek pulang, kemarin adek bilangnya ada urusan mendadak yang gabisa di kerjain disini. Jadi ayah pesenin adek tiket pulang sesuai permintaan adek. Kalau masi mau disini sama ayah gausah cepet-cepet pulang dek, ayah masih lama dinas disini." jawab ayah.
Sudah satu minggu Anaya tinggal di Pulau Dewata ini. Melakukan hobinya dengan penuh suka cita setiap harinya. Kalau dilihat-lihat isi koper yang kini sedang Anaya kemas, hampir setangahnya adalah kanvas-kanvas yang ia bawa dan dibelinya disini. Walaupun sudah bertekat untuk menggambar di tablet yang ia bawa, ternyata itu hanya niat belaka saja.
"Ayah minta lukisan mu yang ini ya dek, buat disini." ucap ayah sembari menunjukkan lukisan yang dirinnya sukai.
Anaya melirik kearah lukisan yang ayahnya ambil, buru-buru Anaya mengambil lukisann itu. "Jangan yang ini ayah, yang itu aja tuh. Ini titipan soalnya hehehehe." Dengan perasaan yang bingung, ayah hanya menggelengkan kepalanya dan segera mengambil lukisan yang dimaksud oleh anaknya itu.
Melihat ayahnya yang sudah keluar dari kamarnya, Anaya menghembuskan nafasnya dengan lega. Dilihatnya lukisan yang sedari tadi ia pegang dengan erat. Sebenarnya ini bukan titipan siapa-siapa, tapi rasanya sangat sayang jika lukisan ini ia tinggal disini begitu saja. Karena baginya, lukisan yang kini sedang dipegang bukan sekedar lukisan yang hanya ia lukis berdasarkan objek, melainkan lukisan yang ia buat dengan berdasarkan perasaan.
Satu jam lamanya Anaya menghabiskan waktu untuk berkemas, sebenarnya tidak hari ini ia berangkat. Hanya saja Anaya sengaja berkemas duluan agar bisa berleluasa ketika hari keberangkatannya besok. Anaya merenggangkan tubuhnya untuk menghilangkan pegal dan menjatuhkan badannya ke dalam kasur, sembari membuka handpone yang tidak ia buka sejak ia bangun tidur.
1 panggilan tidak terjawab
Anaya mengernyitkan alis, nomor baru siapa yang menelfon dirinya. Seingetnya, ia tidak mempunyai kenalan baru atau bertukar nomor dengan orang baru akhir-akhir ini. Hanya nomor Baskara yang terakhir kalinya Anaya save baru-baru ini. Rasa penasaran Anaya kini pudar bergantikan dengan rasa takut dan gelisah setelah ia baca pesan baru yang di kirim oleh nomor yang tidak dikenalinya itu.
+628xxxxxxx
Anaya?
Nay apa kabar? bisa aku ngobrol sebentar sama kamu?
Sebentar aja nay....
Sampai aku bisa tau kalau kamu beneran baik-baik aja sampai waktu sejauh ini
Rasa penyesalan dan bersalah aku masih bersarang di kepala ku ini nay...
Tolong hukum aku layaknya hukum pada umumnya, tolong nay.
Pikiran Anaya kosong, perasaan yang awalnya baik-baik saja kini berubah dengan cepat, berganti dengan rasa sedih yang sudah lama ia pendam dengan begitu susahnya selama ini. Pikirannya hanya tertuju dengan masa lalu kelamnya, masa lalu yang membunuh mental Anaya dengan waktu yang sangat singkat. Dengan tangan yang gemetar, ia mencari kontak 'Kak Restu' untuk memberi tahu hal ini.
Satu detik, dua detik, tiga detik, hingga detik kelima suara yang awalnya hanya menyambung kini berubah menjadi suara laki-laki yang kini sedang memanggil namanya. Anaya hanya diam, dirinya tidak bisa menjawab, rasanya tenggorokannya kini sedang di cekik sangat kencang dengan jantunngnya yang makin berdetak dengan hebatnya. Otaknya terus memutar kejadian lampau yang bahkan tidak bisa ia cegah sama sekali, semuanya yang ia kubur dengan sangat dalam, satu persatu muncul begitu saja tanpa ampun. Layaknya dendam yang sudah lama disimpan dan kini sedang dibalaskan secara membabi buta.
"Anaya! Anaya hey!" suara dengan lantang itu menyadarkan Anaya dari lamunan.
"Aku takut kak, tolong aku." jawab Anaya dengan terbata-bata.
"Inhale exhale Anaya, gue disini. Ceritain semampunya." dengan pelan Restu mencoba menenangkan Anaya yang ia tahu kini sedang mendapati serangan panik yang tidak biasa.
"Dia ngehubungin aku kak, dia bilang kalimat yang sama seperti waktu itu kak, dia mencoba menghubungi aku lagi kak, aku takut."
Tanpa sadar, tangan Restu sudah terkepal dengan sangat kuat. Ia tahu keadaan Anaya kini, luka yang di simpan dengan baik oleh gadis kecilnya itu kini terbuka begitu saja.