Berteman dengan Sepi

Hasan Ali
Chapter #1

Wasiat Ibu

“Pao-Pao. Jika suatu saat ada yang mencemooh namamu jangan pernah kamu ambil hati ya. Ibu berharap nama kamu akan membawa keberkahan yang berlipat. Semoga kamu dapat bersekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi dari ayah dan ibu. Berjanjilah pada diri kamu sendiri jika kamu bisa menjadi orang sukses.”

**

Langit kelabu mengantung di cakrawala. Tanpa diaba-aba, tetes demi tetes air terjun bebas. Bumi yang semula kering kerontang mendadak menjadi bersimbah. Bukan lagi basah, tetapi sudah menjadi becek. Jeritan petir membahana. Menyambar bergantian mengagetkan seluruh insan. Badai topan juga tak dapat dihentikan. Pepohonan menari-nari hingga beberapa di antaranya bertumbangan. Suasana semakin mencekam.

Rombongan pelayat mulai panik. Berlari kalang kabut tak tahu arah. “Cepat! Kita harus segera pergi dari sini!” ucap salah seorang pelayat yang berusaha menutupi kepalanya dengan kedua tangan. Namun, tangannya tidaklah selebar payung. Air hujan tetap dapat menerobos membasahi tubuhnya. Basah kuyup.

Seorang wanita berumur sekitar tiga puluh tahun terpeleset. Tanah sudah semakin lembek dan becek. Parit di tepi jalan sudah mulai dialiri air. Angin bertiup semakin kencang. Sebuah ranting pohon tiba-tiba melayang. Bergerak cepat menuju ke arah wanita yang terjatuh. “Aaagghhh!” teriak wanita itu sambil menutup muka dengan tangan kanannya. Berharap ada keajaiban yang datang.

Dan benar saja, keajaiban menghampiri wanita itu. Ada seorang lelaki yang berlari lebih kencang dibanding gerakan ranting. Dengan cekatan, kedua tangannya segera menahan ranting sebesar lengan yang hendak menabraknya. “Cepat pergi dari sini, Mbak!” perintah lelaki itu. Wanita itu pun mencoba bangkit lalu berjalan dengan tertatih-tatih.

“Cepat, Pao! Kamu ingin mati juga di sini ha? Jangan cengang kamu!” ucap Ayah yang sedari tadi berdiri di belakangku dengan nada membentak.

Aku yang masih berlumuran air mata tetap kekeh dengan pendirianku. “Tidak, Yah. Aku akan tetap di sini menemani ibu.”

“Ibu kamu sudah mati, nggak bisa kembali lagi, Pao. Jangan ditangisi terus. Cepat!” gertak ayah.

Keadaan di area pemakaman semakin tak terkendali. Langit semakin gelap. Hujan semakin deras. Petir dan angin tak kunjung reda. Pohon-pohon semakin banyak yang bertumbangan dan rantingnya semakin banyak yang melayang, menghantam benda-benda di sekitarnya.

Jedeeerrr! Sebuah kilatan petir menyambar pohon kelapa yang ada di depanku. Terkejut. Jantungku mau copot rasanya. Aku terdiam seketika. Memandang ke depan dengan tatapan kosong. Ayahku segera menyambar tanganku. Aku pun bangkit dan mengikuti pergerakannya. Berlari di bawah guyuran hujan. Melewati gundukan makam di kanan-kiri.

Lihat selengkapnya