Sepi menghangatkan malam ini. Sekarang aku hanya tinggal berdua bersama ayah dalam satu atap. Aku merasa seperti sedang berada di dalam mimpi buruk. Berharap tiba-tiba terjatuh dari ranjang lalu melihat wajah ibu ketika aku membuka mata. Namun, itu hanyalah sebuah harapan kosong. Harapan yang tidak mungkin lagi akan terwujud. Kami sudah berada dalam dimensi alam yang berbeda.
Aku duduk termenung. Jendela kamar kubiarkan terbuka. Sepoi angin membelai manja tubuhku, menenangkan hati, dan membersihkan pikiran yang sedang kalut. Aku sedang berusaha mendapatkan ketenangan, dan itu hanya akan kudapat di kala sepi. Sseorang diri. Di saat seperti itulah aku bisa mencurahkan isi hati secara bebas.
Sudut-sudut mata menitikkan air mata. Bola mata menatap tajam ke ujung langit, mencoba menembus langit ke tujuh tetapi tak sanggup. Mataku bukanlah teropong ajaib. Bahkan teropong ajaib pun saat ini belum ada yang mampu menembus batas itu. Mustahil tanpa ada mukjizat dari Tuhan.
Rembulan tampak malu untuk keluar dari persembunyiannya. Hanya menampakkan separuh tubuhnya. Separuh yang lain masih ditelan awan hitam. Bintang-bintang pun tak ada yang menghiburku. Ya, sekarang aku benar-benar larut dalam suasana sepi.
Kedua telapak tangan kusandarkan ke pipi. Sesekali aku memejamkan mata, membukanya, lalu menutupnya lagi. Pikiranku mulai berkelebat mengingat kejadian hari ini yang terasa sangat cepat berlalu. Cepat dan menyakitkan.
**
Aku memulai hari seperti biasanya. Tidak ada yang spesial, hanya rutinitas seperti biasa yang kujalani. Bangun tidur, gosok gigi, salat subuh, zikir pagi, membaca buku, mandi, sarapan, berangkat sekolah. Di sekolah pun tak ada kejadian yang istimewa, semuanya berlalu datar-datar saja. Memulai perjalanan ke sekolah dengan mengendarai sepeda, menunggu kelas sambil membaca buku, mengikuti pelajaran di kelas, ketika waktu istirahat diolok-olok Geng Sableng, mengikuti pelajaran lagi, istirahat untuk salat zuhur dan makan, juga sambil mendengarkan celoteh dari Geng Sableng, lalu pulang.
Saat pulang sekolah itulah kejadian yang tak kuinginkan terjadi. Hatiku sudah mulai merasakan kehampaan ketika mengayuh sepeda menuju ke rumah. Rasanya seperti ada batu yang mengganjal dan membuatku sulit bernapas, tetapi itu dalam makna kiasan. Tiba-tiba seperti ada layar lebar yang terpasang di hadapanku. Di layar itu ada sebuah tayangan berupa kenanganku bersama ibu. Ketika ibu tersenyum melihat aku mengompol karena ada kecoa yang terbang ke wajah. Ketika ibu tertawa karena aku terbalik dalam memakai baju. Juga tayangan ketika ibu setiap hari membangunkanku dengan sabarnya. Namun, aku tak terlalu memedulikan itu.
Selama perjalanan, aku sama sekali tidak punya pikiran jika hari ini adalah terakhir kalinya aku menatap wajah ibu. Sama sekali tidak ada pikiran seperti itu. Aku tetap menikmati pemandangan-pemandangan yang ada di sepanjang jalan pulang. Deretan rumah-rumah mewah atau minimal layak huni yang berderet rapi di tepi jalan, jembatan berjenis Callender Hamilton(1) yang sangat kental dengan ciri khasnya. Rangka tiang dari baja yang disusun membentuk segitiga di sisi kanan dan kiri jembatan. Sungai Sirep yang mengalir di bawahnya pun terlihat jelas. Jernih, belum terkontaminasi limbah pabrik dan masih banyak batu kali berukuran besar yang memperindah tampilan sungai. Sangat cocok untuk kegiatan arung jeram. Bentangan sawah yang didominasi warna hijau daun yang menyejukkan mata. Serta burung-burung pipit yang beterbangan bebas di atasnya. Menambah kesan khas pedesaan yang masih asri.
Pikiranku mulai berputar-putar tak keruan ketika hendak melintas pemakaman dekat rumah yang berada di ujung jalan sebelum tikungan menuju rumah. Di pemakaman itu sudah banyak orang berbondong-bondong sembari membawa cangkul. Hanya ada dua kemungkinan yang sedang terjadi. Jika bukan untuk kerja bakti, berarti ada warga yang meninggal dunia. Untuk kemungkinan pertama rasa-rasanya tidak mungkin. Mana ada orang yang mau kerja bakti di siang bolong seperti ini, apalagi hari ini bukan akhir pekan, bukan tanggal merah, dan masih lama untuk menyambut kedatangan bulan Ramadan. Berarti sudah hampir dipastikan jika mereka akan menggali kubur.
Aku terus mengayuh sepeda yang kukendarai melewati gerombolan orang yang sedang menuju ke pemakaman. Sejujurnya aku ingin bertanya kepada mereka siapa yang meninggal, tetapi aku tidak sanggup. Lidahku selalu kelu ketika harus bertanya terlebih dahulu kepada orang lain. Aku tidak suka bertanya, lebih suka untuk ditanya, atau mungkin aku tidak pernah bertanya kepada siapa pun, kecuali kepada tiga makhluk. Ibu, ayah, dan sepi. Jika harus bertanya kepada ayah pun aku harus benar-benar menyiapkan mental yang kuat. Harus siap jika pertanyaanku tidak ditanggapi dan tidak dijawab, atau dijawab dengan jawaban yang menyakitkan hati.
Jika ditanya pun aku hanya bisa memberikan jawaban yang singkat. Aku lebih suka ditanya dengan pertanyaan closed ended, seperti “Siapa namamu?”, “Di mana rumahmu?”, “Kamu sudah makan?”, “Berapa kali kamu mandi dalam sehari?”, dan sejenisnya yang hanya membutuhkan jawaban singkat. Jika ditanya dengan pertanyaan open ended yang biasanya diawali dengan kata “mengapa” atau “bagaimana” aku akan menjawabnya singkat. Hanya kujawab dengan satu sampai empat kata saja. Kecuali pertanyaan dari ibu dan ayah yang bisa aku jawab dengan lebih panjang. Sementara “sepi” tak mungkin memberikan pertanyaan kepadaku. Ak tak tahu. Apakah itu sebuah kutukan atau malah sebuah anugerah.