Berteman dengan Sepi

Hasan Ali
Chapter #3

Lelaki Berperasaan

“Allahu akbar, Allahu akbar, ….”

Azan mengudara. Beberapa waktu yang lalu, ayam jago juga telah berkokok, tetapi aku masih menikmati tidurku. Menangis semalaman sembari memikirkan orang paling dicintai yang telah berpulang ternyata membuatku lelah. Bukan hanya melelahkan batin, tetapi juga berefek kepada fisik.

Ketika iqamah berkumandang, aku bangkit. Aku kembali tersadar jika ibu telah meninggal. Orang yang biasa membangunkanku ketika azan kini telah tiada. Kalau ayah jangan ditanya. Beliau tentu saja belum bangun. Bahkan di hari-hari sebelumnya pun aku tidak pernah melihat beliau bangun sebelum aku berangkat, selalu lebih siang dari jadwalku berangkat ke sekolah. Entahlah beliau bangun pukul berapa.

**

Selesai salat aku bingung dengan sarapan hari ini, juga untuk hari-hari berikutnya. Tentu biasanya ibuku yang menyiapkan makanan. Setiap aku akan berangkat ke sekolah tentu meja makan telah penuh, tetapi kali ini masih kosong melompong. Aku belum pernah sekalipun memasak, bahkan antara gula dengan garam pun tidak bisa membedakan. Apa mungkin hari ini aku harus belajar untuk memasak, pikirku.

Namun, sudah tidak cukup waktu. Kurang dari satu jam lagi aku sudah harus berada di sekolah. Hanya sekadar menyalakan kompor saja aku tak mengerti, bagaimana mau memasak? Maka aku lebih memilih untuk mengosongkan perut. Aku rasa masih cukup tenaga untuk mengayuh sepeda sampai sekolah. Setidaknya nanti aku bisa membeli jajan di kantin sekolah untuk mengganjal perut.

Begitu terpikir soal jajan, aku juga langsung terpikir dengan uang saku. Selama ini ibu yang selalu memberiku uang saku. Jika harus meminta ke ayah, jelas aku tidak berani. Pasti beliau akan marah jika aku membangunkannya. Bisa-bisa aku malah kena omel. “Ayo, Pao! Kamu harus kuat untuk menahan lapar hari ini”, ujarku menyemangati diri sendiri.

Aku bergegas mandi, lalu berpakaian. Begitu kubuka lemari, aku kembali teringat dengan seragamku hari ini yang belum disetrika. Lagi-lagi, ibuku yang biasanya menyetrika. Hampir-hampir aku menangis lagi mengingat ibu. Sungguh begitu besar jasa ibu. Aku benar-benar belum siap untuk kehilangan ibu untuk saat ini. Aku masih memerlukan keberadaannya, kasih sayang, jasa, pelukan, dan tempatku untuk berbagi perasaan. Bendungan air mataku hampir mau jebol kembali, tetapi ketika menatap ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul 06.30 pagi, maka aku dapat menahannya.

Jika tidak teringat dengan pesan dari mendiang ibu yang ingin melihat aku sukses mungkin aku akan membolos sekolah. Bisa juga membolos untuk selamanya. Namun, aku sudah berjanji kepada diri sendiri akan membahagiakan ibu. Aku ingin membuat ibu tersenyum di sana.

Seragam segera kukenakan tanpa disetrika, lalu tas kugendong. Segera aku meraih sepeda yang terparkir di ruang tamu. Sekilas aku mengintip ayah yang masih memeluk guling. Ah, biarkan saja ayah, aku jangan mengganggu beliau, pikirku. Namun, tiba-tiba aku teringat pintu rumah. Apakah harus aku kunci atau tidak? Kupikir akan aman kalau rumah ini tidak dikunci karena tidak ada barang berharga, paling cuma ada kompor dan kotak amal. Ya, aku baru mengingatnya. Di dalam rumah ada kotak amal. Uangnya masih ada di dalam, tetapi sudah tidak ada waktu lagi. Ah, biarkan saja. Jika kukunci dari luar nanti ayah tidak bisa keluar, tetapi jika kukunci dari dalam tentu bodoh sekali aku. Ah, biarkan saja tidak kukunci, pikirku.

Bismillah. Aku pun berangkat. Udara di luar begitu nyaman menembus dinding-dinding hidungku. Sejuk sekali. Pucuk-pucuk daun masih sering meneteskan embun, jatuh ke tanah, lalu merembes ke dalam. Burung-burung berkicau, langit tampak biru cerah, tidak ada awan yang bergulung. Mentari pagi juga mulai merangkak naik, menghangatkan bumi dari selimut embun pagi.

Begitu sampai di jalan dekat pintu masuk pemakaman, hatiku berdesir. Aku berhenti sejenak. Kembali teringat dengan sosok ibu. Sosok yang sangat berarti bagiku karena hanya beliau satu-satunya insan yang bisa menjadi tempat mencurahkan isi hati. Aku selalu merasa nyaman dan aman berada di sisinya. Kini ibu sudah tidak ada. Aku hanya mempunyai “sepi” yang akan selalu setia menemani kisah hidupku.

Tiiin! “Woy, jangan berhenti di tengah jalan dong! Mau mati ditabrak?”

Aku terlonjak kaget. “Maaf,” ucapku.

Aku kembali mengayuh sepeda. Melewati persawahan dan perumahan. Dulu sebenarnya semua tempat ini adalah persawahan tetapi karena kebutuhan papan yang terus bertambah maka banyak persawahan yang beralih fungsi menjadi perumahan. Manusia yang semakin bertambah banyak dengan tanah yang tidak bisa berkembang, tentu akan menjadi masalah serius ke depannya. Di manakah manusia akan tinggal? Tetapi jika semua persawahan diubah menjadi perumahan maka akan timbul pertanyaan baru. “Dari manakah manusia akan makan? Sebuah pertanyaan yang belum mendapatkan solusi terbaik sampai saat ini. Apa mungkin manusia akan mencari tempat hidup baru di luar planet bumi? Mungkin saja jika para ilmuwan sudah menemukan tempat yang tepat. Atau mungkin ke depannya akan dibangun rumah-rumah di bawah tanah, seperti halnya bungker antikiamat(1) yang dibangun oleh orang-orang yang ingin menandingi kekuasaan Tuhan, yang diklaim akan menjadi tempat paling selamat?

Lihat selengkapnya