Berteman dengan Sepi

Hasan Ali
Chapter #4

Geng Sableng

Semua pasang mata menatapku tajam. Aku menjadi kikuk. Apa salahku sehingga dilihat sebegitunya? Apa aku terlambat? tetapi kurasa belum, masih lima menit lagi bel baru berbunyi. Apa aku bertambah ganteng? kupikir tidak, wajahku masih sama saja. Atau karena mereka iba atas kematian ibuku kemarin? mungkin benar, itulah jawaban paling realistis.

“Ha… ha… ha….” Semua teman-teman kelasku tertawa renyah seolah-olah melihat pertunjukan badut.

Aku bertambah kikuk. Mau tersenyum tetapi kesal. Mau marah tetapi aku terlalu sabar. Akhirnya, aku berjalan pelan menuju ke kursiku di pojok kiri paling belakang dengan wajah menatap ke bawah. Pura-pura aku melihat motif-motif bunga pada keramik berukuran 30 senti yang kupijak. Dengan latar warna hitam dan motif bunga warna krem. Jika dilihat lebih jeli, motifnya seperti batik milik almarhumah ibu. Ah, aku jadi teringat lagi dengan ibu.

Aku meringkuk di seliri kayu dengan tatapan yang masih kuarahkan ke bawah. Otakku masih mencoba berpikir mengapa mereka semua menertawakanku.

Woy Pao!”

Suara itu lagi. Siapa lagi kalau bukan Roben. Sebenarnya apa mau dia sih? Aku ingin sekali bertanya hal itu kepadanya, tetapi aku tak sanggup. Buat apa aku menanyakan sesuatu yang tidak penting.

Woy Pao! Kalau dipanggil itu lihat orang yang memanggil dong!”

Aku pun menuruti ucapannya.

Booom! Sebuah botol minum kosong menghantam wajahku. Sialan. Kenapa aku harus menuruti ucapannya. Padahal aku tahu kelakuannya seperti apa. Roben itu tak ada bedanya dengan Adolf Hitler(1), sama-sama kejam. Jika Hitler membunuh nyawa jutaan orang maka Roben mengejekku jutaan kali. Mungkin baginya dengan mengejekku, ia bisa mendapatkan kepuasan. Astagfirullah, ucapku dalam hati untuk meredam amarah.

“Kamu habis ngapain si, Pao? Kok lututmu lecet-lecet begitu? Celananya robek pula,” tanya Roben pura-pura tidak tahu.

“Mungkin dia habis berkelahi, Bos,” ujar Tito.

“Berkelahi sama kucing kayaknya, Bos,” celetuk Toti―saudara kembar Tito.

“Ha… ha… ha….” Dua bersaudara itu tertawa bersamaan. Perut buncitnya ikut bergoyang-goyang. Kacamata bulat keduanya ikut bergetar.

Seorang siswa berbadan tinggi hitam dengan rambut kribo duduk di kursi sebelahku. “Kamu kenapa, Pao?” tanyanya.

Belum juga aku menjawab, Roben sudah menyerobot pertanyaan yang ditujukan kepadaku. “Tito sama Toti sudah kasih tahu kan, Put. Kamu nggak usah sok perhatian sama dia. Awas kalau sampai kamu bantu dia! Kamu nggak akan dapat uang saku lagi dariku. Kamu mau?” ancam Roben.

“Ampun, Bos.”

Assalamu’alaikum,” salam dari Pak Bondi―guru matematikaku―memecah kegaduhan.

Lihat selengkapnya