Berteman dengan Sepi

Hasan Ali
Chapter #5

Bukan Salahku

Enam jam di sekolah terasa lama, seperti enam abad.

Apalagi dalam keadaan duka setelah kehilangan ibu yang kemudian disusul dengan ketidakhadiran Fandi. Rasanya hidupku semakin sepi. Tidak ada lagi orang yang benar-benar menyayangiku. Tidak ada lagi tempat bagiku untuk berbagi perasaan. Dunia ini tempat berkumpul milyaran manusia, bahkan negeri ini adalah negeri dengan penduduk terbanyak keempat di dunia dengan populasi lebih dari 270 juta penduduk, tetapi aku merasa tetap hidup sebatang kara. Sepi sekali. Aku tak ada bedanya dengan sebuah batu yang berdiam diri di sungai, tidak akan bergerak jika tidak ada orang yang mengangkatnya. Bukan aku tak menganggap mereka, menurutku tidak ada satu pun dari mereka yang menganggap keberadaanku, atau mungkin hanya prasangkaku saja? Aku masih belum mengerti bagaimana jalan hidupku ke depan. Apakah aku masih bisa bersabar dengan lakon kehidupanku saat ini? Atau aku akan menjadi gila dan stres? Selama ini mungkin masih bisa bersabar, tetapi semenit kemudian? sejam kemudian? sehari kemudian? setahun kemudian? Apakah aku masih bisa bersabar dengan hidupku yang terus dirundung kesepian?

Ingin rasanya aku menjadi seperti mereka yang memiliki banyak teman. Bisa bermain, bercanda, nongkrong, dan aktivitas lainnya tanpa merasa kesepian. Namun, aku? Aku hanya bisa menongkrong di toilet jika kebelet. Bahkan untuk berbicara sepatah kata saja aku harus menguras banyak energi, kesulitan. Apa aku tidak bersyukur dengan semua yang Tuhan berikan? Apa aku tidak bersyukur karena tidak bisa memanfaatkan mulutku untuk berbicara? Entahlah, aku pun masih tidak tahu bagaimana bentuk syukur yang bisa harus lakukan.

Aku lebih memilih diam daripada bertanya. Sebenarnya ada banyak sekali pertanyaan di kepala, tetapi entah kepada siapa aku bisa memuntahkan isi kepala agar terasa enteng. Bukankah malu bertanya sesat di jalan? Mungkin pepatah itu benar adanya. Aku merasa seperti orang yang sedang tersesat. Tak tahu arah, tak tahu tujuan hidup, tak memiliki impian, tak tahu tempat untuk mengadu. Mungkin aku memang ditakdirkan untuk berteman dengan sepi.

Tuhan memang menciptakan diriku sempurna secara fisik, tetapi aku tak bisa memanfaatkan kesempurnaan itu. Bodoh sekali. Mulutku bungkam sebungkam-bungkamnya.

Woy! Melamun saja kamu, Pao. Masih kesal sama aku gara-gara kejadian tadi pagi? Atau sedang memikirkan bagaimana caranya agar bisa membalaskan dendamnya kepadaku? Ha… ha… ha…. Jika kamu bisa membalasnya, silakan saja, Pao! Silakan saja!”

“Mungkin dia masih memikirkan bagaimana caranya bisa membeli handphone yang harganya dua juta, Bos.”

“Bukan dua juta, Tit. Kan sudah dapat diskon tiga puluh persen.”

“Oya lupa, Tot.”

“Ha… ha… ha….” Saudara kembar itu tertawa bersamaan.

“Sudah, biarkan dia di sini. Kita balik saja yuk!” ajak Putu.

“Ya balik lah, lagian siapa yang mau nungguin bocah yatim ini.”

Roben dan Geng Sablengnya berlalu dari hadapanku. Sementara aku masih meringkuk di pojok kelas. Rasanya berat sekali untuk beranjak pulang. Seharusnya aku bersykur memiliki rumah, di luar sana masih banyak orang yang tidur beralaskan bumi dan beratapkan langit. Namun, rumahku yang sekarang sepertinya tidak lagi menjadi tempat pulang yang ramah. Tidak ada lagi sosok ibu, hanya ada ayah. Dan sampai saat ini ayah masih belum menerima keberadaanku. Walaupun beliau tidak pernah menganiaya secara fisik, tetapi batinku selalu dibelenggu oleh sikapnya.

Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir, pikiranku masih bergelayut ke mana-mana. Tuaaang! “Aduh!” Kepalaku membentur tiang bendera. Tiang itu bergoyang dan merah putih di pucuk tertinggi berkibar.

Aku melanjutkan langkahku dengan lebih berhati-hati. Mencoba lebih fokus lagi. Begitu sampai di tempat parkir, aku syok. Sepedaku tidak ada. Aku berjalan dari ujung ke ujung tetapi tetap saja tak kutemukan. Apa mungkin Geng Sableng mengambil sepedaku? pikirku.

Astagfirulllah, aku baru teringat kalau sepedaku ada di bengkel depan sekolah. Mengapa aku harus berprasangka buruk kepada mereka. Sabar Pao! Sabar! Jangan pernah membenci orang walaupun orang itu membenci kita. Bukankah itu yang diinginkan oleh mendiang ibu.

Aku berbalik arah menuju gerbang depan sekolah, menuju bengkel tempat sepedaku diperbaki. Sepedaku terlihat sudah seperti sediakala. “Itu sepedanya sudah beres ya, Dek. Semuanya sudah dibayar sama ayah kamu tadi pagi,” ucap sang Montir.

Lihat selengkapnya