Malam kedua tanpa kehadiran sosok ibu semakin terasa hampa. Ayah sudah kembali ke rutinitas malamnya. Nongkrong di warung kopi. Entah apa yang dilakukannya. Hanya sekadar minum kopi atau minum minuman yang lebih dari kopi. Apakah hanya mengobrol dengan temannya atau mempertaruhkan hartanya. Aku tak tahu. Tak berani untuk menasihatinya. Beliau hanya berpesan kepadaku agar tidak pergi kemana-mana dan mengunci pintu rumah. Beliau sudah membawa kunci cadangan agar bisa masuk ke rumah saat aku sudah tertidur.
Aku kembali membiarkan jendela kamar terbuka. Menatap angkasa yang kini terang benderang. Bulan sabit berjejer dengan bintang-bintang. Berkelip-kelip laksana lampu diskotek, seirama dengan mataku yang berkedip-kedip. Sungguh begitu indah lukisan-Mu.
Berangkat … tidak … berangkat … tidak.” Jari-jemariku terus kugerakkan. Bingung sekali besok mau berangkat sekolah atau tidak. Kejadian siang tadi masih terngiang-ngiang terus. Bagaimana keadaan Roben? Apakah dia selamat? Bagaimana kalau dia benar-benat tercebur ke sungai? Apakah dia selamat? Atau sudah sekarat?
Berbagai pertanyaan tentang kabar Roben memenuhi pikiranku. Walaupun dia sangat membenciku dan aku pun membencinya, tetapi aku tak ingin melihat dia mati. Apalagi kejadian ini sedikit banyaknya memiliki sangkut paut denganku.
Bulan melengkung di langit malam
Apakah Tuhan murung menyaksikan mukaku yang masam?
Bintang mengejap di kegelapan
Apakah Tuhan berharap menyaksikan diriku penuh keceriaan?
Kata-kata itu mengalir sendiri dari mulutku. Terdengar indah seperti larik-larik puisi. Apakah kecemasan dapat melahirkan puisi? Meskipun belum seindah puisi-puisi Chairil Anwar(1) misalnya. Aku merasakan ada makna di balik larik-larik itu. Jiwaku terasa plong.
“Wahai sepi, sekarang kamu adalah satu-satunya temanku. Jangan pernah tinggalkan aku ya! Kamu tidak akan mati selama aku belum mati. Kamu akan selalu membersamaiku selama aku akan membersamaimu. Kamu itu teman paling setia wahai sepi,” ucapku dalam keheningan malam.
Kulihat bulan seperti tersenyum dan mengangguk kepadaku, menandakan jika sepi tidak akan mengkhianatiku. Mulai malam ini dan malam-malam selanjutnya, aku tidak akan kesepian lagi karena kesepian itulah yang menjadi teman setiaku. Dengannya, aku akan mencoba membuat puisi-puisi baru yang akan menghibur diri. Aku akan menyiapkan buku kecil untuk menulis puis-puisi itu.
**
Selamat pagi dunia!
“Berangkat … tidak … berangkat … tidak ….”
Jika berangkat, aku pasti bakal dicecar lagi oleh Roben dan Geng Sablengnya―Jika Roben masih hidup. Jika tidak berangkat, mau apa aku di rumah. Kerja? Kerja apa? Aku hanyalah bocah SMP yang tidak memiliki pengalaman dan keahlian apapun. Juga bukan dari keluarga konglomerat, hanya dari keluarga melarat.
Ayah mungkin tidak akan mempermasalahkan apa yang kuperbuat. Bahkan tidak memedulikannya. Namun, bagaimana dengan almarhumah ibu di sana. Pasti beliau sangat sedih. Aku harus bisa sukses. Bukankah ibu menginginkan aku bisa bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi dari beliau. Menjadi orang sukses. Aku harus berangkat. Itulah pilihan yang kuambil.
Aku mengelap sepeda jengki berwarna biru yang kudapat dari hadiah ibu saat khitan dulu dengan kain yang sudah dibasahi air hingga kinclong. Walau ibu hanya mampu membeli sepeda bekas, tetapi bagiku sepeda ini selalu terasa seperti baru. Seperti baru masuk bengkel, wkwk!
Kucium setangnya yang sudah mulai berkarat. Lalu kunaiki sepeda jengki ini menuju ke sekolah. Sadel yang terlampau tinggi, membuat aku harus sedikit berjinjit saat mengayuh sepeda ini. Mungkin itulah yang menyebabkan aku langsung terjungkal saat tersenggol mobil Roben kemarin.
Selama perjalanan ke sekolah, aku masih memikirkan Roben. Aku yakin dia selamat, tetapi aku rasa dia akan sangat marah dengaku. Walaupun aku sadar kalau ini bukanlah salahku. Namun, Roben tetaplah Roben. Dia pasti tetap akan menyalahkan diriku. Aku takut dia akan berbuat sesuatu yang lebih kejam. Harus selalu waspada ketika berhadapan dengannya.
Begitu sampai di depan pintu kelas, kakiku semakin tak yakin untuk melangkah masuk ke dalam. Aku masih terlampau takut dengannya. Tetapi bukankah aku tak boleh takut kepada siapa pun? Takutlah hanya kepada Tuhan yang menciptakan bumi dan langit. “Bismillah,” ucapku lirih.
“Halo, Pao. Apa kabar? Sehat kan?” sapa Roben sambil menyunggingkan senyum.
Aku menatapnya sangsi. Apa benar ini adalah Roben? Mengapa dia menjadi baik seperti ini? Apa karena kemarin kepalanya terbentur sesuatu yang keras sehingga menjadi seperti ini? Berubah menjadi baik dan menganggapku sebagai teman. Kurasa tidak. Masih sulit untuk dicerna. Mustahil. Namun, bukankah semua yang ada di dunia ini tidak ada yang mustahil? Hati manusia itu ada yang mengendalikan. Orang jahat bisa menjadi baik, dan sebaliknya orang baik bisa menjadi jahat.
Seperti halnya Umar bin Khattab(2) yang pada awalnya ingin menentang dan ingin membunuh Nabi Muhammad Shallalahu Alaihi wa Sallam. Namun, setelah mendengar bacaan ayat Al-Qur’an, hatinya menjadi luluh, lalu beliau langsung menemui Rasulullah untuk menyatakan masuk Islam.