Berteman dengan Sepi

Hasan Ali
Chapter #7

Monster dalam Gelap

Aku benar-benar sudah kehabisan tenaga. Percuma saja tangan, kaki, badan, kepala, hingga ujung rambut kugerak-gerakkan. Tidak ada perubahan sedikit pun. Teriakan-teriakan yang kulantangkan juga tak mempan, bak angin yang berderu di padang pasir. Tidak ada satu pun manusia yang mendengarnya. Tetapi aku tidak langsung menyerah, aku terus mencobanya. Thomas Alva Edison saja baru berhasil membuat lampu pijar setelah melakukan percobaan selama dua tahun. Berkat jasanya, dunia saat ini bisa terus menyala selama dua puluh empat jam, tetapi tidak dengan gudang sekolahku ini.

Berkali-kali berteriak tetapi yang keluar hanya bunyi “Aaaaa!” itu pun sangat rendah volumenya. Gerakanku yang semakin membabi buta justru membuatku semakin tersiksa, aku terjungkal ke samping. Pipiku menempel lantai yang kotor nan berdebu. Lenganku menubruk lantai sampai menghasilkan bunyi bruuuk! yang begitu keras. Untungnya kepala tak terbentur keras.

Detak jarum jam dinding terdengar melengking di dalam ruangan yang sunyi ini. Namun, aku tak dapat melihat rupa jam itu, terlalu gelap. Hanya ada seberkas cahaya yang masuk di celah jendela akibat tidak rapat ditutup. Cahaya oranye senja. Cahaya yang menunjukkan jika azan magrib sebentar lagi akan mengudara. Sepuluh menit lagi, lima belas menit lagi, atau mungkin setengah jam lagi.

Dengan rasa pegal yang masih terasa di sekujur tubuh, cobaan lainnya datang. Kali ini adalah monster-monster penghuni gudang datang menyerbu. Tikus, kecoa, cicak, semut, dan laba-laba secara bergatian mendekatiku. Beberapa ekor tikus berlarian kejar-kejaran di atas kaki. Bukannya menggigit tali yang melilit tubuhku agar bisa segera terbebas, tikus-tikus itu malah menggigit kakiku. “Aaaaa!” Aku mengerang kencang hingga mereka akhirnya kabur bersembunyi ke kolong meja. Lalu dua ekor kecoa yang bau badannya seperti bau badanku saat tidak mandi selama seminggu hinggap ke tangan. Mereka mengibas-ngibaskan sungut-sungutnya ke kulit tangan. Geli sekali rasanya. Belum juga terbang, ada seekor cicak yang jatuh tepat ke muka. Bukan itu saja, cicak ini mengeluarkan hajatnya di dekat hidung, beruntung tidak masuk ke dalam lubang hidung. Aromanya semakin membuatku ingin muntah. Lalu ada laba-laba yang membuat sarang di antara kedua kakiku. Terakhir ada gerombolan semut yang mengerubutiku karena manis dari es teh yang tadi disiramkan oleh Putu.

Benar kata Toti. Di sini aku menemukan teman. Bukan hanya tikus seperti yang dikatakan olehnya, ada juga monster-monster lainnya yang menemaniku dalam gelap. Setidaknya aku tak lagi kesepian. Dan aku juga harus bersyukur tidak ada hewan buas dan berbisa yang ikut menyerangku. Jika ada tamatlah kisah ini.

Aku harus terus bersabar. Sabar menghadapi cobaan yang silih berganti membombardir kehidupan remajaku. Apa mungkin ini karena dosa-dosaku? atau Tuhan ingin mengangkat derajatku? Entahlah, yang terpenting aku harus tetap bersabar menghadapi segala cobaan. Dalam posisi seperti ini, aku jadi teringat dengan pesan dari almarhumah ibu yang lainnya. “Pao, kamu harus mengamalkan dua kunci surga.” Saat itu aku terdiam mendengar penjelasan ibu sembari menebak-nebak dalam hati apa yang dimaksud ibu. Mungkinkah kunci surga yang dimaksud ibu sama seperti kunci rumah? Tetapi di mana aku bisa menemukan kunci seperti itu? Apa aku harus meminta ke tukang reparasi kunci untuk dibuatkan kunci surga seperti yang dimaksud ibu?

“Kunci surga itu dijual di mana, Bu?” tanyaku polos.

Ibu tersenyum lirih mendengar pertanyaan bodohku. Mungkin beliau ingin tertawa tetapi urung dilakukannya karena takut menyakiti hatiku. Beliau mengelus kepalaku sembari menjawab pertanyaan anaknya yang masih berusia delapan tahun saat itu.

Lalu, beliau melanjutkan pesannya. “Kunci yang pertama yaitu kamu harus bersyukur ketika mendapatkan kenikmatan,” ucapnya dengan senyum yang tergambar jelas di wajah. “Kunci kedua yaitu kamu harus bersabar ketika mendapatkan musibah dan cobaan,” tambahnya sambil menekan hidungku dengan jari telunjuknya.

Tentu saat itu aku tak mengerti apa maksud kata-kata itu. Aku masih terlalu polos. Belum mengerti apa-apa. Namun, sekarang aku sudah paham apa yang dimaksud oleh mendiang ibu. Jika tidak ada lagi yang mencintaiku lagi di dunia, setidaknya aku punya Allah yang selalu mencintaiku. Aku yakin ini adalah bentuk cinta-Nya kepadaku agar aku semakin cinta kepada-Nya. Habis gelap terbitlah terang, habis senyap terbitlah pengang. Pengang sebagai wujud dari kesenangan. Aku harus yakin itu.

Ya, aku harus terus mempraktikkan kunci surga yang kedua, bersabar. Semakin aku bersabar maka Allah akan semakin cinta kepadaku. Sabar di dalam gudang sekolah ini sampai ada orang yang menolong. Sabar berteman dengan monster-monster gudang. Sabar! Sabar Pao-Pao! Sabar!

Meskipun aku terus mendoktrin diri sendiri untuk bisa bersabar, tetapi lama-kelamaan kesabaranku menipis juga, semakin berkurang, berkurang, dan hampir-hampir lenyap.

Kaus kaki yang menyumbat mulut semakin membuatku ingin muntah. Bercampur dengan air liur menjadikan mulutku seperti disumbat tumpukan sampah, bau sekali. Ikatan tali yang mengelilingi tubuhku juga terasa semakin mengimpit serasa ingin membunuhku secara perlahan. Padahal tidak ada yang menariknya. Semakin lama aku semakin kesulitan untuk bernapas. Apakah ini akhir cerita hidupku? Tewas mengenaskan di gudang sekolah.

Di saat keputusasaan mulai menghinggapi diri, ada sebuah harapan yang muncul. Pintu gudang bergerak. Sepertinya ada orang yang hendak masuk. Kuharap dugaanku benar.

Lihat selengkapnya