Plaaak!
“Berani-beraninya kamu mengunci Pao-Pao di gudang sekolah. Apa kamu merasa paling berkuasa di sekolah ini? Apa karena kamu anak seorang konglomerat sehingga bertindak semena-mena kepada temanmu yang melarat?”
Roben terdiam. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Tubuhnya yang tinggi lagi kekar seolah tak berarti apa-apa. Di hadapan Pak Bondi, dirinya bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya. Tito, Toti, dan Putu yang berdiri di sampingnya hanya bisa menunduk memandangi lantai keramik bermotif bunga. Mereka tak berani untuk mendongakkan kepalanya untuk melihat kondisi bosnya.
Suasana di dalam kelas mencekam. Lebih mencekam dibanding ujian semester yang kami ikuti. Semua mata tertuju ke tontonan gratis yang ada di depan, termasuk aku. Sejatinya aku juga tak tega jika Roben dan Geng Sablengnya mendapat hukuman. Sungguh tak tega karena bisa jadi dengan hukuman ini justru mereka akan semakin beringas dalam menjahiliku.
Pak Bondi menampar pipi sebelah kiri Roben dengan begitu keras, tanpa ampun. Sampai-sampai pipi dia bonyok. Pak Bondi tak lantas berpindah untuk menampar Tito, Toti, dan Putu. Beliau tetap berdiri di hadapan Roben. Mungkin Pak Bondi beranggapan Robenlah dalangnya. Jika dalangnya sudah kapok maka wayang-wayangnya tidak akan bisa bergerak. Persis seperti halnya pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia sebelum tahun 1908. Pada saat itu peperangan melawan penjajah masih bersifat kedaerahan. Jika pemimpin mereka mati atau tertangkap maka para pengikutnya akan kalang kabut. Mereka tidak akan berani melanjutkan peperangan sampai muncul pemimpin baru. Akibatnya, penjajah pun dengan mudah menaklukan suatu wilayah di negeri ini.
Tito, Toti, dan Putu dibiarkan untuk terus berdiri di depan kelas hingga siang hari sebelum bel pulang sekolah berdering. Hanya boleh beristirahat untuk salat zuhur. Meskipun mereka juga tidak pernah salat zuhur, tetapi kali ini mereka terpaksa melakukannya karena hukuman dari Pak Bondi. Sementara itu, Roben disuruh untuk menyapu seluruh wilayah sekolah, termasuk juga untuk membersihkan toilet dan menguras kolam ikan yang berada di depan ruang guru. Benar-benar tidak ada ampun. Jika sampai waktunya pulang belum juga kelar maka Pak Bondi akan mengawasinya hingga sore hari. Sampai benar-benar tidak ada debu yang tersisa di seluruh sudut sekolah.
Meskipun berbadan kekar, tetapi sejatinya Roben tak pernah sekalipun memegang sapu, pengki, pel, dan peralatan sejenisnya. Maklum orang kaya. Namun, inilah azab yang harus diterima. Air susu akan dibalas dengan air susu. Air tuba akan dibalas dengan air tuba.
Namun, dihukumnya Roben, Tito, Toti, dan Putu ternyata tidak sama sekali membuatku tenang. Sepanjang pelajaran, aku selalu memikirkan bagaimana situasi ke depannya. Apakah aku akan aman atau semakin tertekan. Aku yakin Roben tidak akan tinggal diam. Selama dia masih memiliki uang maka ia bisa berbuat apa saja. Anggota Geng Sableng tidak mungkin akan mengkhianatinya, malah bisa jadi ia akan menambah anggotanya, meluaskan kekuasaannya. Namun, mengapa harus aku yang menjadi sasaran? Apa salahku kepadanya? Aku hanya seorang introver melarat yang hanya menginginkan ketenangan. Aku tak menginginkan uang, kekuasaan, atau apapun itu. Justru aku senang hidup dalam kesepian.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku segera beranjak pulang. Aku akan berusaha menghindar dari Roben. Jangan sampai dia melihat langkahku. Aku tak ingin membuat masalah lagi dengannya.
Dari depan kelas, aku dapat melihat Roben yang sedang menguras kolam ikan di depan ruang guru. Sementara ketiga anggota gengnya berada di tepi kolam. Mereka patuh terhadap perintah Pak Bondi agar tak membantu sedikit pun hukuman yang diberikan kepada Roben. Jika ketahuan membantu maka mereka akan mendapatkan hukuman yang lebih berat.
Jarak antara kelasku dengan tempat Roben dipisahkan tiga ruang kelas dari kelasku yang berada di ujung. Jika aku menelusuri jalan depan kelas maka aku akan berpapasan dengannya. Posisi kelasku yang berada di ujung depan sementara sepedaku terparkir di belakang, membuatku harus melewati jalan ini. Tidak ada jalan lain. Hanya ini satu-satunya jalan untuk menuju ke tempat parkir sepeda.
Aku terlalu banyak memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak kupikirkan. Siswa-siswa lain yang bersepeda sudah berjalan menuju tempat parkir. Tinggal aku seorang. Aku terlalu ragu-ragu. Andai saja tadi aku langsung pulang dengan berjalan seiring gerombolan siswa yang lain pasti aku akan selamat. Ah, bodohnya aku.
Kali ini, aku harus berjalan seorang diri. Jika aku menunda-nunda lagi nanti malah keadaan semakin memburuk. Aku harus segera pulang.