Berteman dengan Sepi

Hasan Ali
Chapter #9

Celurit Pak Samsul

Tak terasa waktu sudah bergulir seminggu sejak Roben dan Geng sablengnya dihukum. Sejak itu, mereka sudah tidak pernah sekalipun menjahiliku. Ketika kami tak sengaja berpapasan pun, mereka hanya melengos saja. Tak mengatai-ngataiku.

Aku bersyukur. Mungkin mereka telah insaf. Atau mugkin mereka takut akan mendaptakan hukuman yang lebih ngeri lagi dari Pak Bondi jika masih menggangguku. Tetapi aku masih curiga dengan tatapan dan gerak jarinya saat aku melenggang ke tempat parkir kala itu. Roben mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya. Menunjuk ke kedua matanya lalu diacungkan ke kedua mataku. Bagiku, itu adalah sebuah isyarat bahwa dia akan selalu mengawasiku. Dia masih punya dendam kepadaku.

Aku tidak mau termakan oleh permainannya lagi. Ketika Roben selamat dari kejadian yang hampir saja membuat dirinya tercebur ke sungai, kupikir dia telah insaf. Aku mengikuti kemauannya yang berpura-pura baik mentraktirku. Nyatanya, itu hanya sebuah perangkap tikus. Ia bersama gengnya menangkap dan mengunciku di gudang sekolah. Beruntung ada Pak Bondi yang menjadi malaikat penyelamat bagiku.

Aku harus semakin waspada. Bukannya berprasangka buruk, tetapi itulah yang harus kulakukan. Aku yakin dia hanya menungguku lalai saja. Atau mungkin menunggu lepas dari pengawasan Pak Bondi. Atau bisa juga dia sedang menyusun rencana kejam lainnya yang tak terduga.

**

Siang ini seperti siang-siang pada umumnya di negeri tropis. Matahari menggantung di atas kepala. Tak ada awan yang menghalangi, pancaran sinarnya langsung menusuk telak ke ubun-ubun kepala. Rasanya jarak antara aku dengan matahari ini seperti sejengkal saja. Panas yang membuatku agak pening.

Setelah menyelesaikan pelajaran hari ini, seperti biasa aku sudah ditunggu teman setiaku di dalam rumah, sepi. Aku harus mengayuh sepeda yang selalu setia menemaniku ini untuk membelah jalan menuju rumah.

Begitu sampai di depan warung es durian dekat jembatan, mataku sesekali melirik ke arah warung itu. Aku menjadi teringat kejadian kala itu. Ketika Roben berniat mendorongku, aku langsung bergerak cepat dan mampu menghindar darinya, tetapi nahas es durian yang kupegang harus berakhir tragis, terjatuh dari genggaman. Padahal itu adalah kesempatan emasku untuk bisa merasakan es durian. Aku tak tahu apakah masih mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk bisa meneguknya. Aku hanya bisa berdoa semoga kembali mendapatkan rezeki yang tak disangka-sangka.

Sepeda terus kukayuh. Tak mengenal lelah meski kepala terasa seperti mendidih. Panas sekali. Melewati jembatan, terus bergerak lurus membelah jalan di pinggir sawah. Dari sini aku dapat melihat dengan jelas kegagahan Gunung Ranahantap yang berdiri di sebelah barat. Dari bumi tempat sepedaku melaju, gunung ini terlihat berwarna hijau tua. Meskipun tak begitu jauh dari tempat tinggalku, aku sama sekali belum pernah mendaki ke puncak gunung itu. Ah, pasti sangat mengasyikan jika aku berhasil menuju puncak tertinggi kotaku ini. Menyaksikan sawah yang terbentang hijau. Memandang burung-burung yang terbang bebas. Berdiri di atas awan. Melihat siluet jingga mentari saat pertama kali merangkak naik dari persembunyiannya, atau orang-orang akrab menyebutnya sebagai sunrise. Semoga ada masanya aku bisa ke sana.

Cukup lama aku memandangi kegagahan Gunung Ranahantap yang tampak di kiriku itu. Dalam posisi aku masih mengendarai sepeda. Melaju tanpa melihat ke jalan yang kutempuh. Tiba-tiba saat aku kembali memusatkan pandangan ke depan, ada sebuah tali yang terbentang di tengah jalan. Persis di depanku, hanya berjarak sejengkal. Aku sudah tak mampu mengerem sepedaku.

Roda depan sepedaku menghantam tali itu. Meskipun tak melaju kencang, tetapi sepeda yang kukendarai tetap saja oleng, lalu terjungkal. Sepedaku masih berada di tepi jalan, sementara aku terlempar ke dalam sawah.

Sawah tempatku jatuh ini baru saja ditanami padi, masih pendek-pendek. Tanahnya tentu lebih didominasi air menjadi tanah lumpur. Pakaianku comot. Bukan lagi comot, tetapi berubah warna. Celana biru menjadi coklat, begitu pula baju putihku juga menjadi coklat. Kepala dan rambut juga terciprat lumpur. Sepatu sebelah kananku copot dan menghilang di kubangan lumpur. Aku menyeluk ke dalam lumpur tetapi tak berhasil. Sepertinya sudah terperosok terlalu dalam.

Kondisi jalan saat itu lengang. Tidak ada satu pun kendaraan yang melintas. Percuma jikalau aku berteriak, hanya membuang energi saja, tidak bakalan ada yang menghampiri dan menolongku.

Dengan badan yang sempoyongan aku berusaha berdiri. Berjalan naik ke jalan. Namun, di hadapanku entah dari mana datangnya telah berdiri empat orang. Berseragam sama denganku sebelum tercemplung ke sawah. Salah satu di antara mereka memegang tali. Tidak salah lagi, itu adalah tali yang menyebabkanku terjungkal ke sawah ini. Dan tidak salah lagi, empat orang itu adalah Roben, Tito, Toti, dan Putu. Geng sableng yang selalu mengganggu hidupku.

“Kamu kira sudah aman dengan berlindung di belakang punggung Pak Bondi, Pao. Tentu tidak,” ujar Roben penuh percaya diri.

“Lihat bajunya Bos. Hari Senin kok pakai baju pramuka.”

“Kayaknya dia sudah amnesia Bos.” Kedua anak kembar itu tertawa bersama. Dua orang tetapi satu jiwa. Selalu saja mereka kompak ketika mentertawakanku.

Aku diam saja menghadapi ocehan mereka. Kutatap mereka satu-satu. Roben, Tito, dan Toti terkembang senyum kecutnya. Sementara Putu tetap seperti biasanya. Bersikap dingin tanpa senyum. Tangannya saling membelit di depan dadanya.

Lihat selengkapnya