Berjalan santai. Menghirup udara khas pedesaan. Menuju sebuah tempat indah yang berada di pucuk desa. Butuh waktu tak kurang dari lima menit sebelum sampai di tempat itu. Melewati beberapa rumah warga, warung, dan aliran irigasi dari Sungai Sirep. Sebelum menuju tempat yang kutuju, aku sempatkan untuk duduk sebentar di tepi Sungai Sirep, Sungai ini dibendung, di atasnya ada sebuah jembatan yang menghubungkan dua desa. Saat akhir pekan seperti sekarang, jembatan itu selalu ramai dilalui oleh kendaraan bermotor, juga sepeda. Di tepi jembatan itu juga ramai orang yang melempar kail pancing ke sungai. Sementara di bagian hulu bendungan, air mengalir tenang. Ada kapal-kapal kecil yang digunakan untuk mengangkut pasir yang didapat dari dasar Sungai Sirep.
Aku duduk termenung. Menatap air yang mengalir tenang. Mendengarkan suara aliran yang mengalun lembut ke dalam telinga. Aku menjelangak. Berganti melihat gagahnya Gunung Ranahantap yang masih diselimuti kabut.
Sepi
Hatiku membeku
Pikiranku kelabu
Lidahku kelu
Engkaulah teman setia daku
Hati terasa plong ketika aku selesai melantunkan sebait puisi. Ditambah setelah menyaksikan lukisan dari Sang Ilahi. Tak lupa aku ikat puisi itu melalui pena dan sebuah buku kecil yang kubawa. Lalu, buku dan pena itu aku masukkan kembali ke dalam tas.
Aku kembali berdiri, melanjutkan perjalanan menuju tempat yang kutuju. Terus berjalan hingga berada di jalan yang berada di tengah petakan sawah. Di belakang sawah, tepatnya di sisi timur, matahari mulai bergerak naik. Menyelinap di antara celah bukit. Arunika menghangatkan pepohonan di bukit yang masih berselimut embun pagi.
Petak-petak sawah terlihat segar oleh hijaunya batang padi yang dalam tahap pertumbuhan. Beberapa petani sedang berjalan di pematang, mengenakan tudung di kepala, membawa cangkul di pundak, serta mencangking sebotol air putih di tangan kirinya. Ada yang berjalan menuju saung, ada pula yang langsung terjun ke sawah.