Namanya Sarah. Selain cantik, ia juga pandai. Bagaimana tidak, hampir setiap kali guru di kelas memberikan pertanyaan, ia selalu bisa menjawabnya dengan cepat. Selain itu, ia juga selalu mendapatkan peringkat pertama di setiap semester, nilainya jauh mengungguli siswa di peringkat kedua, yaitu aku. Mungkin satu hal yang paling membedakan aku dengannya adalah aku introver dan dia ekstrover. Sebenarnya saat ujian tertulis, nilaiku dengan Sarah tak terlampau jauh, tetapi nilai aktivitas dia mampu mengatrol nilai rapornya sehingga berselisih jauh denganku.
Semua yang dimiliki oleh Sarah tentu membuat banyak laki-laki yang tertarik dengannya. Ibarat kata Sarah itu adalah bunga yang mekar dengan warna yang menarik dan berbau harum. Para laki-laki yang melihatnya adalah lebah yang ingin hinggap dan mengisap nektar di bunga itu Maklum, masa SMP itu sudah memasuki masa-masa pubertas. Laki-laki sudah mulai mengalami mimpi basah dan perempuan sudah mulai mengalami haid. Suara laki-laki juga terdengar lebih berat, sementara suara perempuan semakin melengking. Secara fisik juga banyak perubahan yang mulai tampak sehingga menarik perhatian lawan jenis.
Salah seorang laki-laki yang tertarik dengan Sarah adalah Roben. Sering kali Roben menggoda Sarah saat istirahat. Mengajaknya makan bareng di kantin atau menggodanya di jalan. Namun, Sarah tak pernah menggubris. Justru ia merasa sebal dengan Roben karena terus menggangu dirinya. Pernah suatu waktu aku melihat Sarah menampar Roben yang hendak menggandeng tangannya. Saat itu Roben langsung tergeletak pingsan karena tamparan Sarah sangat telak mengenai pipinya. Maklum, ia adalah salah satu atlet pencak silat SMP Negeri 2 Kalimeneng yang sudah pernah mewakili sekolah hingga tingkat nasional. Namun, Roben sama sekali tak marah dengannya. Justru benih-benih cinta kepada Sarah semakin tumbuh subur. Mungkin itu yang dinamakan cinta monyet yang bertepuk sebelah tangan.
Kecintaannya kepada Sarah tidak mengubah sedikit pun rasa bencinya kepadaku. Roben bersama Geng Sablengnya tak ada henti-hentinya untuk mengejek dan menjahiliku. Entah apa yang membuat Roben memendam perasaan dendam yang demikian dalam kepadaku. Sampai detik ini pertanyaan itu masih menggantung dan belum kutemukan jawabannya.
Bel pertanda pulang sekolah telah berdering. Seperti biasa, aku langsung menuju tempat parkir sepeda. Harus bergegas pulang karena langit sudah tampak kelabu. Sebentar lagi hujan akan turun. Aku tak membawa mantel. Jika terlambat sebentar saja bisa basah kuyup sampai di rumah. Aku harus bergegas. Semakin cepat semakin baik. Namun, baru sampai di gerbang sekolah, Roben, Tito, Toti, dan Putu sudah mencegatku.
“Buru-buru amat, Pao,” ucap Roben membuka percakapan yang sama sekali tidak kuinginkan.
“Dia kan mau jualan bakpao, Bos nanti kalau nggak buru-buru bakal terlambat,” ejek Tito.
“Benar. Pelanggannya sudah pada menunggu. Kasihan, Bos,” tambah Toti.
Seperti biasa, kedua saudara kembar itu langsung tertawa renyah setelah mengejekku. Sementara Putu hanya bersedekap. Memperhatikan Roben dan dua bersaudara itu mengoceh.
“Kamu itu sebenarnya manusia atau patung sih, Pao? Kalau diajak ngomong pasti diam aja.”
“Bukan manusia juga bukan patung, Bos.”
“Terus apa dong, Tit?”
“Monyet.”