“Kamu tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa.”
“Tapi siku kamu berdarah, harus segera diobati,” Sarah berlutut, memegang tanganku yang terluka. Ia memperhatikan luka yang kualami dengan saksama. Aku yang sama sekali tidak pernah dipegang oleh perempuan selain ibuku, apalagi perempuan secantik dia, tentu dadaku bergemuruh tak keruan. He! aku juga sudah masuk masa pubertas. Tertarik pada Sarah tentu sesuatu yang wajar, tetapi hanya sebatas tertarik karena kecantikan, kepandaian, dan keberaniannya. Tidak lebih dari itu. Jika aku menyukainya lebih dari itu, mana mungkin ia akan membalas perasaannya pada laki-laki pendek, pendiam, dan lemah sepertiku.
“Ayo ke rumahku! Cuma lima menit jalan kaki kok.”
“Tidak perlu,” jawabku singkat dan datar sambil memegang siku yang terluka.
“Tidak apa-apa. Lagi pula hujan semakin deras. Kamu harus berteduh. Tenang saja, aku bawa payung,” ujarnya sembari mengeluarkan benda itu dari tasnya.
Sarah berdiri. Menjulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Aku sempat ragu. Ada perasaan tidak nyaman saat memegang tangan seorang perempuan, kecuali jika itu adalah tangan ibuku. Ah, aku kembali merindukan sosok ibu. Segera aku menepis kerinduan itu. Aku meraih tangannya, lalu ia menarikku. Perempuan cantik itu membuka payungnya, sementara aku berjalan sambil menuntun sepeda. Kami berjalan beriringan dibawah sebuah payung, ditemani guyuran hujan.
Angin bertiup kencang menggoyangkan pepohonan di tepi jalan. Petir juga mulai menyambar-nyambar, bercahaya di antara gelapnya suasana siang menjelang sore ini. Udara dingin menyergap tubuh, tetapi aneh. Dingin itu seketika berganti menjadi sebuah kehangatan. Aku tak tau pasti, tetapi aku merasa itu karena ada Sarah di sampingku.
Benar kata Sarah, hanya butuh waktu sekitar lima menit untuk sampai di rumahnya. Aku terkaget ketika melihat sebuah bangunan megah berlantai dua berdiri gagah di antara bangunan lain yang sederhana. Bangunan itu tampak mencolok, seperti Sarah yang kecantikan dan kepandaiannya mencolok di antara teman-teman lainnya.
Bangunan itu dikelilingi tembok yang lebih tinggi dari tubuhku. Persis di depannya ada pagar besi yang dijaga oleh satpam. Dari luar tampak dua tiang besar yang menyangga atap teras. Bercat putih, seperti gedung putihnya istana kepresidenan Amerika Serikat. Di sekelilingnya ada taman yang rindang.
Melihat Sarah datang, satpam yang berjaga di depan langsung membukakan pagar. “Silakan, Non,” sapanya.
“Terima kasih Pak Juned.”
“Romantis sekali kalian berdua. Satu payung berdua. Dia pacar, Non?” tanyanya dengan enteng. Dari pertanyaannya terlihat jelas kalau satpam itu suka bergosip.
“Hus! ngawur Pak Juned. Kenalin dia Pao-Pao. Teman aku. Tadi dia diganggu sama anak-anak lain terus terluka. Makanya aku ajak dia ke rumah untuk mengobati lukanya sambil menunggu hujan reda.”
“Oalah begitu, Non. Tapi memang nggak pantas juga sih kalau dia jadi pacar Non. Pendek, muka pas-pasan, bawanya sepeda, terus tadi namanya siapa, Pao-Pao. Aneh betul,” celetuk si satpam.
“Hus! Jangan begitu, Pak. Jangan merendahkan orang lain. Pak Juned mau saya pecat?” ancam Sarah.
“Ampun, Non.”
Aku dan Sarah kembali melangkah. Menuju garasi yang berada di samping kanan rumahnya. Mendekati garasi, aku melihat ada sesuatu yang sepertinya pernah aku lihat sebelumnya. Sebuah mobil hitam mengilat dengan moncong panjang ke depan, dan ceper. Aku merasa akrab dengan mobil itu. Entah, sepertinya aku pernah melihat mobil ini sebelumnya. Namun aku tak pasti. Lagi pula banyak mobil sejenis yang berkeliaran di jalanan. Sempat ingin bertanya kepada Sarah tetapi niat itu aku urungkan.
“Sepeda kamu di sini dulu ya. Kita masuk ke dalam!” ajak Sarah ketika aku masih memperhatikan mobil mewah itu. Sepeda itu aku parkirkan di sebelah mobil hitam mewah itu.
Kami berjalan menuju teras. Sarah membuka pintu depan rumah. Sementara aku tetap menunggu di depan. “Ayo masuk, Pao. Jangan sungkan. Anggap saja rumah sendiri,” ujarnya.
Rumah sendiri? Sungguh beruntung sekali jika aku memiliki gedongan seperi ini. Bahkan bisa masuk garasinya saja sudah merupakan sebuah kehormatan. Dan sekarang aku diajak Sarah untuk masuk ke rumah megah ini. Mimpi apa aku semalam?
“Jangan bengong saja, Pao. Ayo masuk!” ajaknya sambil menarik tanganku. Sontak aku menjadi gugup.
Begitu masuk ke dalam ruang tamu rumah mewah ini, aku geleng-geleng kepala. Bukan hanya tampak luarnya saja yang mewah, tetapi ornamen-ornamen yang ada di dalamnya pun tak kalah memesona. Persis seperti Sarah. Bukan hanya tampak fisiknya saja yang cantik, tetapi hatinya juga baik. Ah, kenapa aku menjadi terus memuji perempuan ini. Atau jangan-jangan aku juga menaruh hati padanya? Sadar Pao! Sadar! Kamu itu siapa? Sama sekali tidak pantas untuk dia. Lagi pula kamu itu masih di bawah umur. Jangan memikirkan hal-hal seperti itu!
Gemuruh dalam hati dan pikiran segera kusingkirkan. Harus sadar diri. Bermimpi boleh setinggi langit, tetapi angan-angan tetap harus dibatasi. Harus bisa membedakan mana itu mimpi dan mana itu angan-angan.
Kakiku dimanjakan oleh lantai porselen putih dengan corak abu-abu yang mengilat. Mataku memandang dinding yang dihiasi oleh berbagai macam lukisan. Rak buku di sisi sebelahnya dengan sebuah televisi besar di tengahnya. Juga langit-langit ruangan dari gipsum putih. Sungguh sangat berbeda dengan langit-langit rumahku yang dihinggapi sarang laba-laba di setiap sudutnya.