“Buat apa kamu lulus, Pao? Kalau mau jadi penjual bakpao nggak perlu tamat SMP. Nggak sekolah juga bisa kok,” ejek Roben.
“Benar kata Bos. Kamu kan sudah miskin. Kalau sekolah cuma buang-buang duit saja, Pao. Apalagi kamu itu bocah yatim,” tambah Tito.
“Dan satu lagi, kita nggak akan biarkan kamu lulus, Pao,” jelas Toti.
“Hus! Jangan bilang yang itu, Tot. Bodoh banget sih kamu.”
“Ampun, Bos. Keceplosan.”
Sementara itu, Putu tetap seperti biasa. Mendengarkan ocehan tiga temannya dengan santai. Bersedekap sambil geleng-geleng kepala. Mungkin baginya mendengarkan mereka tak ada bedanya dengan mendengarkan radio rusak. Hanya saja Putu tetap berpihak pada radio rusak itu.
Sementara aku sudah kebal dengan suara radio rusak itu. Masuk melalui kuping kanan dan keluar dari kuping kiri. Tak ada gunanya meladeni mereka. Hanya membuang-buang waktu dan energi saja. Namun, kalimat dari Toti tadi membuatku agak merinding. Aku takut mereka benar-benar akan menggagalkan kelulusanku. Dan sudah pasti mereka tak akan main-main untuk melakukan itu. Tentu aku harus waspada. Mencurigai segala keganjilan yang akan aku hadapi selama sehari ke depan. Aku tak ingin gagal untuk lulus. Aku ingin membahagiakan mendiang ibu. Bisa melanjutkan sekolah sampai jenjang yang lebih tinggi dari beliau. Aku ingin menjadi orang sukses.
Aku merangsek melewati Roben dan Geng Sablengnya. Mereka menatapku sinis sambil mengoceh tak jelas. Yang pasti mereka sedang menyumpah-nyumpahi diriku. Biarkan saja mereka melakukan itu sampai lelah sendiri. Aku tetap mengayuh sepedaku dengan cepat. Melewati jembatan yang dulu hampir menewaskan Roben. Andai dulu ia tak berpegangan besi pembatas, mungkin sudah tamat riwayatnya. Mungkin Geng Sableng akan bubar. Namun, aku tak tahu bagaimana nasibku. Bisa-bisa aku mendapatkan akibatnya karena secara tidak langsung aku terlibat dalam peristiwa itu.